Setelah menghabiskan waktu bersama Fajar selama seminggu, kini Senja harus kembali menjalani hari-harinya tanpa Fajar. Senja sadar bahwa tidak ada pertemuan yang abadi, akan ada waktunya mereka dipisahkan oleh jarak dan waktu. Namun, ia selalu percaya bahwa ketulusan dari kata cinta bisa terus membawa mereka kepada sebuah keabadian yang sesungguhnya.
***
Tok, tok, tok.
Senja yang sedang asyik bermesraan dengan laptop di meja belajarnya seketika terhenti ketika mendengarkan bunyi ketukan pintu. Ia segera beranjak dari duduknya dan bergegas untuk membuka pintu.
Ketika ia membuka pintu, tampak seorang wanita yang tidak terlalu tua dengan style-nya yang modis. Wanita itu tersenyum kepada Senja, tetapi Senja merasa tidak mengenal wanita itu sama sekali.
“Maaf, cari siapa ya?” tanya Senja bingung.
“Senja, kan?”
“Iya. Tante siapa, ya?”
“Boleh saya masuk dulu?”
“Oh, iya, silahkan.” Senja mempersilahkan wanita itu masuk, lalu kembali menutup pintu kamarnya.
Mereka duduk di atas ranjang Senja yang dilapisi oleh spring bed dengan dominasi berwarna biru muda. “Fajar cerita banyak tentang kamu,” ucap wanita itu memulai.
“Tante kenal Fajar?”
Wanita itu menjulurkan tangannya ke hadapan Senja. “Saya Sarah, tantenya Fajar.”
Senja mengangguk pelan dan membalas uluran tangan Sarah. “Oh, tantenya Fajar, kirain siapa. Saya Senja, Nte.”
“Iya, tante kenal kamu dari Fajar.”
“Ngomong-ngomong, Tante ada perlu apa ke sini?”
Sarah mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikannya kepada Senja. Senja menatap Sarah bingung, untuk apa ia memberikan Senja sebuah kamera?
“Kamera?” tanya Senja bingung. “Untuk apa, Nte?”
“Kemarin, Fajar nitip ini sama tante, katanya disuruh kasih ke kamu di hari yang sama pas dia mau terbang ke Australia.”
Senja mengernyitkan dahinya dengan raut wajah kebingungan. “Berarti ....” Senja menjedakan sejenak ucapannya. “Berarti hari ini Fajar terbang ke Australia, dong?”
“Iya, tadi udah terbang jam 8 pagi.”
“Kok dia gak ngabarin Senja, ya?”
Sarah tersenyum menatap Senja, ia mengusap halus rambut Senja. “Tante juga enggak tahu, mungkin jawabannya ada di sini,” ujar Sarah sembari menunjuk ke arah kamera yang ada di tangan Senja.
“Fajar juga pesan sama tante, katanya jagain pacar kesayangannya.”
“Apaan sih, lebai deh sia. Orang Senja bisa jalan sendiri, kok, bukan anak kecil lagi.” Senja tersenyum geli sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Sarah berdiri di hadapan Senja seraya memegang kepala gadis itu. “Ya udah, kalau gitu tante pamit dulu, ya.” Senja pun tersenyum dan menjawab, “Iya, Tante. Hati-hati, ya.”
Sarah mengangguk dan tersenyum. Ia melangkah menuju ke arah pintu, tiba-tiba langkahnya terhenti. “Oh, iya. Kalau ada waktu kosong, main-main ke rumah, tante punya satu anak perempuan yang kuliah di UGM juga. Nanti kalian bisa kenalan.”
“Oh, ya?” tanya Senja antusias. “Wah, boleh banget, nih. Entar Senja main deh ke rumah, penasaran sama anak tante, pasti cantik kayak tante.”
“Kamu bisa aja.” Sarah menepuk bahu Senja pelan. “Ini kartu nama tante, ada alamatnya juga.”
“Makasih, ya, Tante.”
***
Setelah Sarah berpamitan pulang, Senja kembali menuju meja belajarnya. Ia meraih kamera yang tadinya diberikan oleh Sarah. Awalnya, Senja merasa sangat kesal karena Fajar tidak memberi tahunya bahwa ia akan berangkat menuju Australia, tetapi mengingat ucapan Sarah tadi, ia segera membuka kamera yang diberikan.