Catatan Suami Gebleg

Firmansyah Slamet
Chapter #8

Keenam

BAGIAN 2

I would recognize you in total darkness, when you mute and I deaf. I would recognize you in another lifetime entirely, in different bodies and different times. And I would love you in all of this, until very the last stars in the sky burnt out turn into oblivion.


" "


“Kenapa sayang??” tanya Rena

“Enggak sih,” jawabku.

“Jujur! Ada apa?"

Aku menarik nafas panjang, “mendalami peran, aku kalah casting sama artis senior."

“Eh katanya Dian juga mau cari sandang pangan disini lho,” kata Rena langsung mengubah topik pembicaraan karena jika meladeniku hanya akan menjadi sia-sia.

“Serius??” tanyaku pura-pura tak tahu.

“Iya ... Udah bosen di Jakarta tuh, mau nyari suasana tenang,” kata Rena.

Mata masih fokus dengan lalu lintas setelah mengantar Dian dan keluarga nya menuju stasiun untuk pulang ke Jakarta setelah beberapa hari berlibur sembari bernostalgia di tempat ia menimba ilmu sebagai mahasiswi di kota ini.

Tangan segera memutar kemudi untuk cari makan, tapi Rena ingin bakso untuk mengisi perut. Entah kenapa kesukaan kami sama, kami mampir ke bakso langganan. Kami kembali bertemu Suci, cinta monyet SMP. Orang tua nya ada pemilik bakso langgananku dan Rena.

Aku masih makan sekaligus melihat Rena yang lahab. Rupanya dia memang kelaparan hingga nambah.

“Senengnya pengantin baru ...,” kata Suci.

“Sekarang udah februari ya ... Udah bukan pengantin baru,” kata Rena.

“BTW, masih ingat siapa aku?” tanya Suci.

“Ya ... Kau yang kemarin lihatin aku terus ... Namamu Susi kan?” tanyaku

“Suci! S, u, c, i. Suci!"

“Lho ... Bukannya Susi ya??” tanyaku dengan raut bodoh.

Sumpah! Rasanya ingin sekali tertawa lepas melihatnya, tapi jiwa seni peranku mengalahkan segalanya.

“Gimana kau bisa tahan kalau suamimu seperti ini??” tanya Suci.

“Ci ... Buatku, dia gak berubah, masih mengenalku dengan sangat baik bahkan lebih dari dirinya sendiri sampai hal paling kecil. Dia itu selalu perlakukan aku seperti Ratu dan gak berubah, selalu buatku bahagia dengan keterbatasan ingatan. Dia berkorban banyak dan aku gak akan tinggalkan demi apapun,” kata Rena menatap mataku lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada Suci.

Suci tersenyum, aku masih makan dan nambah karena kenyataannya aku juga kelaparan. Hingga suara knalpot khas yang kukenali betul merapat. Dia adalah Nerissa dan Mbak Vana yang sedang mencari pengganjal perut. Dan memang bakso ini cukup dekat dengan kediamannya.

“Kau ingat mereka siapa??” tanya Suci, rupanya dia memang aneh ...

Aku hanya menggeleng dan masih asyik melanjutkan makan, aku siap terbahak-bahak jika amnesia ini terbongkar.

“Emang amnesia tuh,” kata Mbak Vana yang sepertinya cocok dengan bualan Rena.

“Tahu juga toh mbak...,” kata Suci

“Iya ... Jatuh dari lantai 14, koma di rumah sakit pas bangun malah amnesia. Cuma Rena doang yang diingat, lainya kagak,” kata mbak Vana, sedangkan Nerissa memilih diam.

Suci cuma melongo.

“Pas keluar dari rumah sakit pernah hilang seminggu, eh malah ketemu di Bandung,” kata Mbak Vana sedikit ngawur.

Setelah pesanan mereka selesai dibuat, mereka buru-buru pergi. Dalam diam Rena cuma nyengir! Dia rupanya senang bisa membodohi temannya itu, entah kenapa semua begitu kompak soal membodohi.

*******

“Makanya kalo Dibilangin itu jangan ngeyel! Sakit lagi kan ...,” kata Rena.

Aku sedang disuapi makan bubur, karena aku kembali jatuh sakit. Aku demam karena cuaca tak menentu, Rena malah ngamuk lagi apalagi aku yang akhir-akhir ini mulai beraktivitas berat.

“Aku cuma demam sayang ...,” kataku.

“Maka dari itu, kalau aktivitas tuh jangan langsung ngejoss!” kata Rena.

Tak lama kemudian suara knalpot khas merapat, pasti ini kerjaan Rena. Rena segera keluar, aku juga berjalan menuju kamar dan menguncinya.

“Buka!!” Rena menggedor pintu.

“Nggak!” Aku tak akan membuka pintu itu.

“Buka!!"

“Nggak!"

“Buka atau aku jebol!!"

Lihat selengkapnya