Luka
Goresan masa lalu menyisakan luka menganga dihatiku, bulir air mata mengalir tak terbendung, kelam waktu membelengguku dalam gelap, sendiri merengkuh dalam diam, adakah secercah cahaya penerang dalam gelap nan sunyi, memiluhkan hati.
Tangis piluh tiada akhir, sebuah langkah tanpa tujuan, impian hanya angan yang tak mungkin ku raih.
Pancaran wajah seorang wanita termenung di balkon kamarnya tak seperti keadaan hatinya. Yang hancur, sedih, bagai badai dasyat menghempasnya. Perasaan sedih ia pendam dalam-dalam tanpa seorang pun tau akan kelam hidupnya.
Remaja berusia 17 tahun, berambut sepunggung berbalut jilbab, wajah rupawan ditambah dengan gigi ginsul menambah kecantikannya. Walau kecantikan yang Ryza Nadia milikinya tak membuat ia bahagia terutama mengenai lelaki.
Rasa sakit tentang masa lalu membuat Ryza bersikap dingin, cuek, dan pendiam. Perasaan mengenai masa lalunya selalu menghantui membuatnya terpuruk dalam kesedihan yang tiada akhirnya.
Walau ia berusaha mengindari kenyataan yang membuatnya bangkit dan mencoba memulai hidupnya dengan tulisan. Ryza menulis banyak karya menjadikannya seorang penulis terkenal di Indonesia, terdengar dencitan pintu terbuka menyadarkannya dari lamunan masa lalunya, tanpa menoleh ia sudah tau siapa yang menghampirinya.
" Za ngapain ngelamun aja, padahal dari tadi aku manggilin kamu tapi kamunya gak jawab."
Ucap Risa Lestari sambil berdiri di samping Ryza, menikmati semilir angin sore berdampingan indahnya langit senja kemerahan.
"Hmmm.... Ada apa? "
Jawab Ryza tanpa menoleh ke Risa yang ada di sampingnya. Jawaban yang di peroleh Risa dari sahabatnya itu membuatnya menoleh untuk melihat wajah sahabatnya yang begitu tenang namun memendam kesedihan yang begitu mendalam melebihi dalamnya samudra terdalam di bumi.
Wajah ceria yang Ryza gunakan sebagai topeng untuk membuat orang di sekitarnya tak khawatir terhadapnya.Tapi itu tak berlaku untuk Risa karena sejak kecil bersahabat dengan Ryza membuat mereka mengerti perasaan satu sama lain.
Risa selalu khawatir terhadap sahabatnya yang sudah seperti adiknya sendiri tapi ia tak ingin membuat Riza kecewa terhadapnya, jadi ia berusaha keras menutupi rasa khawatirnya. Ryza merasa geram karena sejak tadi Risa tak menjawab pertanyaannya, membuat ia terpaksa menoleh dan mendapati sahabatnya sedang melamun memandangi wajahnya.
Sehingga Ryza menggerakkan gerakkan telapak tangannya di depan wajah Risa agar tersadar dari lamunannya, tak berapa lama akhirnya Risa tersadar dari lamunannya sambil mengejap-ejapkan matanya, dengan wajah datarnya Ryza menyentil kening Risa karena kesal. Risa meringis menahan sakit di keningnya akibat jentikan dari Ryza.
Sedangkan Ryza dengan cueknya kembali ke posisi semula tanpa memperdulikan pelototan mata dari Risa. Merasa di cuekin oleh Ryza membuat Risa menghela napas pasrah akan perlakuan sahabatnya itu.
"Tadi itu aku dihubungi editor katanya novel terbaru kamu, kapan bakal kamu kirimkan."
Ucap Risa sambil menghela napas panjang setelah mengucapkan itu, karena ia tau Ryza adalah penulis terkenal yang memiliki banyak penggemar.
"Hmmm... "
Gumam Ryza sebagai balasan ucapan Risa, toh Risa juga cuek terhadap jawaban Ryza tadi, karena Risa sudah faham akan perilaku Ryza yang cuek dan dingin.
"Ya, sudahlah aku ke dalam aku sudah lapar kalau kamu mau makan bersama aku tunggu di ruang makan" tukas Risa sebelum ia beranjak menuju ruang makan.
Namun tak dijawab oleh Ryza, seperginya Risa membuat Ryza menghela nafas panjang, ia pun masuk ke dalam kamar untuk mandi karna hari semakin petang, setelah selesai dengan ritual mandinya Ryza mulai menggunakan baju favoritnya yaitu baju babydoll warna biru berlengan panjang, sedangkan rambutnya yang basah setelah keramas ia gerai dengan hiasan bando berwarna putih.
Ia merebahkan tubuhnya ke kasur qeen size dengan posisi terlentang, tangan kanan menutupi matanya sambil berkali-kali menghela nafas memikirkan kehidupannya. Tak terasa olehnya 15 menit dengan posisi seperti itu hingga perutnya berbunyi, dengan terpaksa ia beranjak menuju ruang makan. Tentunya ia memakan masakan dari Risa, selesainya ia pergi ke kamarnya lagi melanjutkan menulis novel selama beberapa jam ia menulis ia pun beranjak dari tempat peraduanya menuju kasurnya dan menanti pagi menyapa.