Sesekali aku melongok dari balik komputer ke arah Amara yang duduk di lantai perpustakaan, berkutat dengan bola gabus. Mataku pedas setelah hampir dua jam menatap layar dan memicingkan kelopak, mencari kesalahan di artikel kami. Tulisan-tulisan bertema pemanasan global ini sejujurnya sedikit melelahkan untuk dirangkai dan dibaca, belum lagi dengan istilah-istilah ilmiah yang harus kuperiksa artinya beberapa kali di Google. Kecepatan internet perpustakaan yang hanya 64 kbps tidak terlalu berpihak padaku.
“Kamu belum selesai juga, Jul?” Suara Amara memecah keheningan.
Aku mendengus. Enak saja Amara bicara. Siapa yang sudah gabung klub jurnalistik selama dua tahun tapi masih belum paham kalau istilah dalam bahasa asing itu harus ditulis pakai huruf miring, hah?
Kubuka bungkus keripik kentang dan mulai mengeluarkan suara krauk-krauk. Komentar Amara sekaligus pening di kepala membuatku merasa ingin mendapatkan asupan micin.
“Mungkin kalau kamu lebih teliti buat nyusun tulisan, aku bisa jadi lebih cepat selesai.”
Yang disindir hanya terkekeh. “Jul, ini lomba mading 3D. Sejak kapan mereka peduli sama typo di artikel?”
Aku tersenyum kecut karena ucapan Amara ada benarnya. Di lomba-lomba mading sebelumnya, kami memang belajar menganalisa bahwa semakin cetar bentuk komponen 3D, semakin tinggi kesempatan untuk menang. Selama ini, sekolah kita tidak pernah menang karena seringnya membuat komponen alakadar sesuai dengan dana ekskul yang terbatas. Piala juara dari tahun ke tahun disabet oleh sekolah-sekolah swasta dengan funding berlimpah. Karena itu, saat Amara mendengarkan alasanku menolak untuk berpartisipasi di lomba mading 3D lagi, dia memberikan jawaban yang menentramkan hati:
“Gampang. Kita ajukan proposal ke Santoso Foundation saja. Kalau minta ke Pak Anwar, nanti bisa-bisa kumisnya ikutan demo. Hehehe.”
Dengan seringai bersalah karena membayangkan kumis pak Anwar yang tebal bergerak-gerak dan om Santoso yang geleng-geleng dengan kelakuan putrinya, aku menyetujui ide untuk mengikuti lomba mading tahunan tingkat provinsi lagi. Walaupun ini semester terakhir kami di sekolah dan sedang disibukkan oleh pendaftaran universitas, dedikasiku pada klub jurnalistik ini termasuk bukti cintaku karena sudah mengisi masa SMA dengan indah, begitulah kira-kira.
Replika bumi karya Amara sudah sedikit demi sedikit terbentuk. Tadinya hanya bola gabus mulus, yang kemudian diukir menggunakan cutter, memunculkan bentuk peta benua-benua yang timbul.
“Bu Editor, coba lihat desain madingnya dong,” Amara menghampiriku.
Kusodorkan sketsa di kertas ukuran A4 yang sudah mulai lecek karena terlipat-lipat. Desainku untuk mading 3D yang sebisa mungkin kuatur dengan membuat komponen-komponen kecil, supaya kami lebih mudah merakit madingnya di lokasi perlombaan besok. Selain replika bumi, miniatur-miniatur lain itu sudah kami selesaikan beberapa hari yang lalu.
“Oooke.” Mulut Amara membundar sembari mulai menunjuk-nunjuk kerangka papan mading bongkar pasang berukuran 120 x 40 meter di depannya. “Jadi nanti replika bumi ini di tengah, kan. Lalu di sebelah kirinya adalah area save the earth yang ada pohon-pohonan, sungai, sepeda. Lalu yang bagian kanan akan menjadi area bumi terbakar.”
“Maksud kamu bumi gersang.”
“Itulah.” Amara menanggapi sekenanya, lalu mengaduk-aduk kantong plastik belanjaan, mencari cat untuk mewarnai. Kulirik jam di dinding. Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB. Setengah jam lagi perpustakaan ditutup. Aku sudah menyelesaikan penyuntingan artikel. Tidak yakin apakah kegiatan mewarnai Amara akan membutuhkan waktu tiga puluh menit. Kami juga masih harus mencetak artikel, lalu mengguntingnya agar bisa ditempel di komponen mading 3D kami.
“Mar, gimana kalau kita pulang sekarang?” usulku. Yang diajak bicara tidak menjawab, menggaruk dagu sambil membaca petunjuk estimasi waktu yang dibutuhkan cat akrilik untuk mengering.
Sedetik kemudian dia setuju. “Oke. Kalau gitu aku kemasi barang-barang dulu. Kamu sudah bawa baju seragam buat besok, kan?”
Aku mengangguk. Kami sudah sepakat akan menginap di rumahnya supaya besok bisa berangkat bersama-sama lebih awal ke tempat perlombaan.
“Bagus lah. Jadi kita nggak perlu mampir rumahmu, Jul. Kalau kamu belum izin, nanti telpon aja dari rumah.”
“Mara, aku ke toilet dulu ya. File-file artikel yang udah aku edit tadi tolong disalin. Kamu ada printer kan di rumah?”
“Oke. Kamu ke toilet dan aku beres-beres dulu. Lepas itu kita cabut.”
***
Kami sampai di kamar Amara setelah bersusah payah menggotong kerangka mading sepanjang jalan. Aku mengelap keringat sebesar jagung setelah berjalan sejauh sekitar seratus meter dari sekolah.
Pik. Amara menyalakan AC.
“Jul, kalau kamu mau mandi, mandi aja. Aku cetakin file tadi dulu. Printer-nya ada di kamar Papaku.”