Suara cempreng tujuh oktaf Amara melengking di seluruh penjuru stasiun.
“STOOOOOPPPPPPPP!!!”
Amara berlari mengejar kereta yang mulai melaju dengan menjunjung tinggi bola gabus di depannya. Sementara aku kewalahan menyeimbangkan ritme di belakang sambil mengepit kerangka mading. Penumpang dari dalam gerbong kereta paling belakang melihat kami dan tergelak-gelak.
“BAAA-PAAAK MAAA-SIII-NIISS!!”
Lima puluh meter di depan kami, bisa kulihat petugas pemberangkatan geleng-geleng kepala.
Amara berlari makin cepat, menghampiri petugas tersebut,
“Hei-hoi-hio-hiho-hoyo-hoyo-pak brooo… Tolong itu disempriti… keretanya... “ Dia tersenggal-senggal.
“Enak saja.” Petugas itu menoyor jidat Amara. “Salah sendiri baru datang!”
“Pelit banget!” Amara mengumpat pada petugas, yang membalasnya dengan mendelik.
Kami lanjut berlari. Namun kereta jurusan Bangil - Surabaya itu menjauh di depan mata, meninggalkan kami yang ngos-ngosan di ujung peron.
“Gimana ini Juuuuuul!!!!” Amara ngereog di tempat.
“Tenang, Mara. Tarik napas dulu.”
“Dari tadi juga aku napas!”
Aku mencoba berpikir jernih. Soalnya di kondisi seperti ini, cukup satu orang saja yang ngereog.
“Ayo cari tiket lagi!” Hal ini terdengar seperti solusi yang paling masuk akal. Kutarik lengan Amara kembali ke dalam stasiun. Daftar keberangkatan terpasang di papan besar yang ditempel di dinding. Tidak ada jadwal kereta jurusan Surabaya lagi hingga pukul 11.00. Penjurian di tempat lomba dilaksanakan jam 12.00. Kami harus mencari jalan lain.
“Gimana… gimana kalau kita ke sekolah?” usulku.
“Mau ngapain?”
“Biasanya hari Minggu, Pak Pri atau Bang Andik ada di sekolah. Mungkin kita bisa minta antar Pak Pri, yah kalau mobil sekolah nggak dipakai sih.” Aku mengingat-ingat jadwal sopir dan tukang kebun sekolah.
“Wah kamu cerdas juga. Tapi kalau kita ke sekolah, jauh, Jul. Terus belum tentu mobilnya nggak dipakai.”
“Kamu telpon aja kalau begitu,” balasku tanpa berpikir panjang.
“Oh bener!”
Aku mengambil alih bola gabus. Amara mengeluarkan Nokia 5310 XpressMusicnya yang berwarna merah dan buru-buru menekan kontak. Ditempelkannya ponsel itu di telinga. Giginya bergemeretak tak sabar.
“Halo! HALO! HALOOO! Halo!”
Amara berhenti berteriak. Pertanda ada yang mengangkat di ujung sana.
“Bang Andiiik, di sekolah ada Pak Pri nggak? Mobil sekolahnya ada nggak? Kalau ada, Bisa minta tolong bilang Pak Pri antarkan kita ke Surabaya nggak?” Amara memberondong Bang Andik dengan pertanyaan. Jawaban Bang Andik sepertinya tidak memuaskan karena kening Amara berkerut.
“Hah? Apa? Istri Pak Pri lahiran? Jadi nggak ke sekolah? Mobil sekolah ada nggak?” cecar Amara lagi.
“Oh ada??!!”
Aku memberi isyarat dengan mataku yang langsung dipahami Amara.
“Bang Andik bisa nyetir mobil nggak? Antarin kita dong!” todongnya.
Sedetik kemudian Amara merengut. “Huu. Makanya belajar nyetir dong!”
Klik. Telepon putus.
“Mobilnya ada tapi Bang Andik nggak bisa nyetir, Jul.”
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 07.30. Kalau tidak cepat-cepat berangkat, kami bisa semakin terlambat.
“Kita naik bus saja, Mara,” usulku dengan sedikit cemas karena mengetahui track record Amara dengan bus. Amara benci transportasi umum yang satu itu karena menurutnya sopir sering ugal-ugalan. Tapi kali ini kekhawatiranku hilang karena Amara berdecih dan mengangkat bahu.
“Oke Jul. Bus sebenarnya pilihan terakhirku, tapi kali ini terpaksa karena nggak ada jalan lain.”
Beriringan, kami berjalan keluar stasiun menuju halte yang terletak pas di seberang jalan. Kendaraan-kendaraan di jalan tidak ada yang mau mengalah. Sepertinya mereka tidak melihat dua cewek melambai-lambai minta mereka melambat. Mobil dan motor terus melaju tanpa henti sampai akhirnya, sebuah mobil pikap dengan muatan sayur berhenti di depan kami.
“Mbak Mara!”
Sopir mobil pikap tersebut melongok dari dalam. Demi melihat mukanya yang familiar, rambut pendek bergelombang, hidung mancung, dan kumis tipisnya, aku menahan tawa.
“Bang Yanto?!” Amara terkejut. Aku tidak tahan. Nada suara Amara yang terdengar salting membuatku menyamarkan tawa menjadi batuk.
Bang Yanto keluar dari mobil dan menghampiri kami. Dari terakhir kali kulihat dia, sekarang bentuk badannya lebih kekar. Kulitnya yang sedikit kegelapan terbakar sinar matahari dan keringat yang menetes di pelipisnya kali ini tidak hanya membuat Amara, tapi juga aku ikutan salting.
“Lama nggak ketemu, Mbak. Mau ke mana?”
“Ke–ke Surabaya, Bang!”
“Oh gitu. Bapak sehat?”
“Papa sehat. Bang Yanto sehat?”
“Alhamdulillah, Mbak. Jualan juga lancar di pasar. Ini saya mau kirim ke Surabaya.”
Aku bukannya tidak mensyukuri keberadaan Bang Yanto saat ini, tapi kita harus segera mengejar bus. Kucolek Amara yang sedang sibuk nostalgia. Yang dicolek menepis tanganku tanpa menoleh. Matanya masih berbinar menatap Abang pembawa sayur. Tapi mendadak aku mendapatkan ide.
Kucubit lengan Amara.
“AW!”
“EH COPOT!”
Ternyata Bang Yanto latah.
Amara yang terkejut mendelik. “Apaan deh, Jul?!”