“BUJUBUNENG EYANG KAKUUUUNG!!!”
Bola gabus kebanggaan Amara remuk bagai rempeyek dalam bungkusan nasi pecel.
Amara mengguncang badanku. “JUUUUUUUUUUULLLLLLLL!!!!!!”
“MAMPUS SUDAH!”
“USAI SUDAH!”
“MATI SUDAH!”
Amara seakan kehilangan dunianya.
Bang Yanto ikutan panik. “Aduh Mbak Mara. Maaf Mbaaaaaak!!”
Setir mobil ikutan serong. Mobil pikap berjalan zig-zag. Gantian aku yang jejeritan.
“Bang! Jangan ikutan meleng!”
Aku dihimpit dua orang tantrum.
“JUUUULLL!”
“MBAK MARAA!”
“ASTAGHFIRULLLLAAAAAH!”
Dengan serampangan, mobil pikap serong kanan kiri menuju Jatim Expo. Untung, kali ini tidak ada polisi yang mengejar. Bang Yanto menepi ke kiri sedikit ugal-ugalan. Amara yang wajahnya kotor dengan air mata demi menghadapi kenyataan bahwa bola gabusnya hancur keluar dari mobil sambil tersedu-sedu.
“Juuuuul. Huhuhu…”
Bang Yanto melongok keluar mobil dengan muka penuh rasa bersalah.
“Maaf, Mbak Mara.” Bang Yanto memasang muka dengan puppy eyes.
“Nggak mau tahu! Pokoknya nanti Bang Yanto jemput kita lagi!” ujarnya kesal.
Aku setuju. Karena aku belum kepikiran akan pulang naik apa.
“Siap, Mbak. Siap. Nanti saya ke sini lagi. Saya antar sayur dulu ya, Mbak Mara?” Dia menoleh padaku. “Maaf, buru-buru, Mbak Juli.”
Aku mengangguk pada Bang Yanto. Di sampingku masih ada cewek yang sedang meratapi maha karyanya dan perlu dihibur. Lebih penting lagi, perlu ditenangkan.
Mobil pikap melesat dengan knalpot bersuara dut-dut-dut.
Aku menatap jam di tangan. Untunglah, dengan maraton sepagian ini, masih ada waktu dua jam setengah. Kami berjalan menuju pintu masuk.
“Jul, gimana ini?” Amara masih sedikit terisak.
Aku diam. Kali ini tidak kepikiran ide. Mading global warming tanpa replika bumi akan terasa ada yang kurang. Tidak mungkin juga memasang bola gabus remuk ini.
Saat aku berpikir, Amara mengusap air matanya. Sedetik kemudian Amara menengok di belakangku seperti menemukan ilham.
Aku mengarahkan pandangan ke tujuan Amara. Seorang bocah berusia kira-kira tujuh tahun dengan rambut mangkok sedang bermain bola sepak plastik di pelataran Jatim Expo. Amara mengangguk padaku, lalu melesat. Tanpa babibu, Amara jalan cepat menghampiri si bocah.
“Hai, Dek.” Dia langsung menodong si bocah, yang menoleh pun tidak.
Aku menyenggol Amara. Memberikan isyarat mungkin dia bicara kurang keras.
Yang diajak bicara diam saja. Masih menendang-nendang bola ke tembok, yang terpantul, dan akhirnya ditendang lagi.
“DEK.” Amara mengeraskan suaranya.
Bocah itu menatap Amara sesaat, kemudian mengangkat bahu, bibirnya mencibir. Amara melotot.
“Dih masih bocah belagu ya…”
Buru-buru aku menarik tangan Amara yang bersiap menjewer kuping bocah tersebut.
“Kata Mama, Doni nggak boleh ngomong sama orang asing!” Tiba-tiba bocah itu bicara.
Aku dan Amara saling berpandangan.
“Memang kenapa kalau bicara sama orang asing?” tanyaku.
Bocah itu geser tiga langkah menjauhi kami.
“Kata Mama, orang asing pasti maunya macem-macem! Mereka juga bisa culik Doni!”
Aku menghela napas. “Gini ya, Dik. Kakak memang orang asing. Tapi kakak nggak mau macem-macem kok. Kakak cuma mau minta tolong.” Aku bicara selambat mungkin, membuatnya paham dengan maksud kami.
“Lah, minta tolong itu kan macem-macem!” kilah bocah tersebut.
Aku menepuk jidat. Amara berbisik, “Jul, sini aku yang bicara.”
“Gini ya, Dik.”
“DONI!” Si bocah menolak dipanggil ‘Dik’.
“Gini ya, Doni, ehm,” Amara berdeham. “Kakak dan teman kakak ini, mau ikut lomba di dalam. Tapi tadi, waktu kami ke sini, ada kecelakaan kecil, dan bahan lomba kami rusak.” Amara menyodorkan bola gabus yang hancur.
Doni menatap bola gabus.
“Terus, apa urusannya sama Doni?” jawabnya cuek.
Amara menggeretakkan gigi. Tapi dia berusaha menahan. Berikutnya, dia mengumpulkan tenaga, membuat nada suara semanis mungkin, “Kakak mau minta tolong, apa Kakak boleh minta bola Doni?”
“Nggak, ah! Nanti Doni mau main apa? Lagian, kata Mama, nggak ada yang gratis di dunia ini!”
Nampaknya ibu Doni telah menanamkan nilai yang penting pada anaknya.
Amara menggaruk kepala. Matanya mengedar ke sekeliling, lalu membulat saat mobil es krim di dekat trotoar.
“Gimana kalau… gimana kalau Kakak belikan es krim untuk gantinya?”