Langit mulai sedikit menguning saat Bang Yanto menepikan mobilnya di depan rumah. Aku tidak sabar turun untuk segera memberitahu Mama dan Papa tentang kabar gembira ini. Bang Yanto menyalakan klakson mobil yang bunyinya ‘pruut’, tanda berpamitan.
Masuk ke rumah, aku melihat kedua orang tuaku duduk di ruang keluarga yang hanya jarak tiga meter dari ruang tamu, berbicara, saling memandang dengan raut muka serius. Ini suasana yang tidak biasa. Jam-jam segini identik dengan Mama berkutat di dapur, membuat cemilan sore. Papa akan duduk di ruang keluarga, membaca koran, menyeruput kopi, atau menonton ulang koleksi VCD Warkop DKI yang ada di rak, sampai aku ikut hafal dialognya.
“Juli.” Mama terkejut demi melihatku masuk. Obrolan mereka terhenti.
Papa dan Mama saling menatap, memberi sinyal dengan mata. Praktek yang sudah sering dilakukan pasangan dengan usia pernikahan puluhan tahun. Mereka membereskan beberapa kertas yang kutaksir sebagai dokumen-dokumen penting di atas meja perlahan-lahan. Papa membuka dan menutup mulut beberapa kali, seakan ada yang ingin dibicarakan tapi mempertimbangkannya terlebih dahulu.
Sebagai seorang overthinker, sudah terbiasa bagiku membaca atmosfer canggung di depanku dan menyiapkan diri untuk mendengar kabar kurang mengenakkan. Perutku lalu biasanya akan serasa ditonjok-tonjok, seperti saat ini.
“Ehm, gimana hasil lombanya?” Mama memulai pembicaraan. Tentu sudah tahu karena kemarin aku sudah minta izin untuk menginap di rumah Amara dan langsung berangkat lomba.
“Juli ikut lomba?” Papa ikut nimbrung.
“Mading,” sahut Mama menimpali.
Kedua orang tuaku memang ahlinya mengalihkan pembicaraan.
“Iya,” jawabku pendek. Aku lega tidak membawa piala tadi ke rumah karena praktis, mereka akan sibuk memberi selamat dan aku akan melewatkan masalah yang aku yakin lebih penting ini.
“Gimana hasilnya?” tanya Papa. Aku menggeleng, entah gestur itu ditafsirkan apa oleh mereka. Mungkin mereka akan menganggap aku kalah dalam perlombaan, walaupun sebenarnya itu lebih tepat diartikan aku-lebih-kepo-masalah-kalian.
Kucium tangan Mama dan Papa. Aku kemudian memutuskan beranjak ke kamar dan menjadi orang dewasa yang mind my own business, karena orang tuaku juga pasti punya alasan kenapa mereka berhenti berdiskusi saat melihat anaknya. Menurut pengalaman pribadiku sebagai anak selama tujuh belas tahun, biasanya itu karena mereka tidak mau anaknya ikutan tahu.
Tapi kali ini aku salah.
“Juli.” Suara Papa memanggil. Aku berhenti. Kulihat Pama menatap Papa khawatir.
“Tidak apa-apa. Juli berhak tahu, Ma. Dia sudah cukup dewasa dan situasi yang kita hadapi ini juga mempengaruhi masa depannya.”
Paham kan sekarang, kenapa perutku serasa ditonjok-tonjok?
Aku duduk di depan orang tuaku. Sepuluh menit berikutnya adalah penjelasan panjang dari mereka yang begitu runtut, seperti mereka sudah menyiapkan ini macam kontes pidato sebelumnya. Mereka nampak sudah berlatih berkali-kali, memastikan kapan tempo bicara dipercepat dan diperlambat, kapan intonasi bicaranya meninggi atau merendah, kapan mimik muka sedih dan sedikit serius harus ditampakkan.
“Papa di-PHK, Juli.”
Kalimat pamungkas itu keluar juga akhirnya dari mulut Papa, menyambar bagai petir di antara senja yang tenang. Mama tidak bisa menyembunyikan raut muka sedihnya. Ada banyak pertanyaan yang ingin kuajukan, namun aku tidak tahu harus mulai dari mana.
“S–sejak kapan?” Akhirnya keluar juga. Saat itu, hanya pertanyaan ini yang terpikirkan.
“Tiga bulan lalu,” jawab Papa.
“Kami baru bisa memberitahu sekarang karena..,” Mama menghela napas. “Karena kami kira kami bisa mengatasi hal ini sendiri. Namun keadaan makin tidak memungkinkan. Sehingga kami tidak punya pilihan lain selain memberitahumu dan Arga.”
“Jika Papa di-PHK sejak tiga bulan lalu, kenapa Papa masih berangkat kerja?” tanyaku.
Papa menggeleng. “Papa keluar rumah untuk mencari kerja. Papa tidak pergi ke kantor.”
Lalu, seakan hal itu tidak terdengar buruk, mereka bilang bahwa tabungan yang selama ini disimpan, perlahan terkuras karena digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Jadi Juli, untuk sementara ini, Papa akan mencari kerja. Dan sementara Papa mencari kerja, Papa harap Juli bisa membantu dengan berhemat,” jelas Mama pelan-pelan.
Suasana hening setelah aku mengangguk. Agak lama.
Sudah? Itu saja?
Kalau sudah, harusnya mereka menyuruh aku kembali ke kamar kan?
“Ehm.”