“Hari ini sisa dua.” Bu Ninuk menyerahkan dua kotak plastik dengan dua isi risol mayo di dalam. Setelah beberapa minggu aku menitipkan di warungnya, ini rekor paling sedikit. Kemarin-kemarin selalu sisa lebih banyak. Hari pertama sisa lima biji, hari ketiga sisa tujuh biji, hari ketujuh lebih parah lagi, sisa lima belas biji.
“Risolnya enak. Tapi mungkin orang-orang bosan, Jul,” ucap Bu Ninuk.
Aku manggut-manggut.
“Mamamu nggak bisa bikin kue lain?” tambah beliau.
“Eh… Kemarin sih Mama coba bikin sosis solo, Bu.”
“Bawa aja ke sini, Jul. Siapa tahu orang-orang suka.”
“Nanti saya bilang Mama dulu, Bu.”
Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu pada Bu Ninuk. Berjualan apapun itu membutuhkan modal dan yah, resikonya cukup besar jika tidak laku. Apalagi kalau yang dijual makanan. Tapi itu memberikan ide. Mungkin nanti aku bisa tanya ke beberapa orang tentang kue kesukaan mereka.
“Eh, Juli. Sudah ujian, Jul?” Tiba-tiba Pak Dikin keluar dari warung.
“Belum, Pak. Nanti bulan April ujiannya.” Aku menaruh kotak plastik itu di dalam keranjang sepeda.
“Sepedanya enak dipakai, Jul?” Pak Dikin memeriksa stang sepedaku. Lebih tepatnya, sepeda pemberian beliau padaku. Sejak aku menitipkan kue-kue ke warungnya, aku jadi sering berbagi cerita pada mereka berdua. Lambat laun, aku pun menceritakan perihal PHK papa hingga kemungkinan bahwa aku tidak bisa kuliah. Mendengar curhatan demi curhatan tersebut, Pak Dikin dan Bu Ninuk berbaik hati memberikan sepeda anaknya yang sudah tidak dipakai lagi padaku. Katanya supaya aku bisa mengantar kue-kue buatan mama ke warung-warung lain.
“Iya, Pak. Enak. Kemarin bannya kempes tapi sudah saya pompa.”
“Oh, nggak bocor kan?”
Aku menggeleng. “Memang cuma waktunya dipompa, Pak.”
“Kalau bannya bocor, bawa ke sini saja Jul. Biar diperbaiki Bapak sendiri,” ucap Bu Ninuk.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Pak, Bu. Saya pamit dulu kalau begitu, ya.”
***
Rem sepedaku mencicit seketika demi melihat sepasang sepatu Tomkins hitam di teras rumah. Sepatu Amara.
Sudah beberapa minggu aku tidak lagi mengunjungi klub jurnalistik karena sibuk membantu Mama mengantar kue di pagi hari dan menjemput kotaknya sepulang sekolah. Amara bukan orang yang ingin kutemui saat ini karena banyak alasan.
Sayangnya, begitu aku berusaha keluar pagar rumah, Mama terlebih dahulu melihat bayanganku.
“Juli baru datang? Mau ke mana?” todong Mama.
Aku belum menyiapkan alasan untuk berbohong, jadilah aku mematung diam.
“Ditunggu Amara dari tadi di dalam.”
Iya, Ma. Aku sudah tahu.