Catch You Later!

Indah F. Wahyuni
Chapter #6

Kesempatan dalam Kesempitan


Saat aku kelas satu, waka kesiswaan menolak meminjamkan mobil sekolah pada klub kami untuk mengantar lomba jurnalistik. Tapi begitu kami pulang membawa juara, mereka mengelu-elukan dan meminta pialanya. Lalu memanggil kami ke depan saat upacara bendera sembari memotivasi yang lain untuk berprestasi karena sekolah akan selalu mendukung. Mereka membuat usaha kami terdengar seperti tidak lepas dari bantuan mereka.

Saat aku kelas dua, teks pidato Bahasa Jepang yang kutulis dibawakan oleh teman lain untuk mewakili lomba pidato tingkat provinsi atas perintah sensei. Kenapa bukan aku yang mewakili dan membawakan teksku sendiri? Sensei berkata, aksen Bahasa Jepangku kurang ciamik.

Masih ingat aku menangis berhari-hari waktu itu. Aku membuang muka setiap berpapasan dengan sensei atau waka kesiswaan. Sebenci itu. Tapi rasa sakit yang lalu tidak ada apa-apanya dengan saat ini.


Aku tidak lolos BPP. Seharusnya aku tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya, tapi air mulai menggenang di pelupuk mata.

Bahkan aku diam saja saat Niko, anak kelas sebelah yang tingginya hampir dua meter mendaratkan sikunya tepat di dahiku.

“Aduh, sori Jul! Aku nggak lihat!”

Yang lain masih berdesakan maju. Perlahan-lahan kemudian mundur, dengan menangis atau bersorak. Gerombolan anak di sekelilingku mulai sibuk saling menenangkan, atau memberi selamat.


***


Kutaruh kotak bekas risol mayo di atas meja makan begitu sampai di rumah. Kucium tangan Mama yang sedang merebus ayam.

“Lho, kok nggak salam. Untung jantung Mama nggak copot.” Mama memaniskan nada bicaranya, berusaha mencairkan suasana. Aku yakin Mama melakukan itu demi melihat mukaku yang kusut. 

“Hari ini titipan di Bu Ninuk habis.” Harusnya aku menyampaikan kabar ini dengan sumringah karena kemarin-kemarin selalu ada sisa. Tapi memang nada bicara dan raut muka tidak bisa dibohongi. Ditambah lagi dengan aku nggak bakat berbohong.

“Juli kenapa? Ujiannya sulit?” tanya Mama.

Aku bisa bilang dengan pede kalau mungkin aku akan dapat nilai sembilan puluh delapan untuk Bahasa Inggris, dan nilai seratus untuk Bahasa Jepang. Tapi aku hanya menggeleng. Nampaknya Mama lupa kalau hari ini ada pengumuman BPP. Bisa jadi lupa, bisa jadi aku yang lupa memberitahu. Tapi apapun itu, aku bersyukur karena aku tidak perlu membicarakan BPP untuk saat ini.

“Juli mau ke kamar, Ma.”


***


Sudah seminggu aku tidak ke sekolah.

Aku hanya keluar rumah untuk mengantarkan kue buatan mama dan mengambil kotak-kotak titipan. Setelah ujian nasional selesai, siswa-siswi kelas tiga tidak lagi mendapat pelajaran. Kami juga tidak wajib datang ke sekolah kecuali ada keperluan. Biasanya paling remedial ujian akhir sekolah atau mengurus berkas pendaftaran universitas. Aku percaya diri dengan hasil ujianku dan aku tidak ada harapan kuliah. Jadi, tidak ada remedial atau sesuatu yang diurus. Terus buat apa aku ke sekolah, kan?

Ada banyak hal lain yang lebih penting untuk kuurus sekarang, seperti menyiapkan surat lamaran kerja dan daftar riwayat hidup. Aku juga sudah mendaftar beberapa nama perusahaan yang akan kukirimi aplikasi lamaran kerja.


Saat aku bergelung di dalam selimut, Mama mengetuk pintu kamar.

“Juli,”

“Ya, Ma?”

“Mama boleh masuk?”

“Nggak dikunci kok.”

Lihat selengkapnya