Kurapikan berkas-berkas pendaftaran beasiswa yayasan Insan Cendekia. Nilai rapor dari semester satu sampai lima, beberapa sertifikat juara lomba, surat keterangan siswa aktif tahun terakhir dari sekolah, dan rekomendasi dari guru.
Selain persyaratan tersebut, aku juga memasukkan esai motivasi yang harus menjelaskan mengapa aku layak menjadi penerima beasiswa Insan Cendekia. Dan juga esai tentang rencanaku setelah lulus dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di kampus tersebut.
Yap. Pendidikan Bahasa Inggris. Aku tidak punya pilihan banyak. Yayasan Insan Cendekia adalah yayasan pendidikan. Mereka sudah memiliki SMA, dan baru saja mendirikan kampus baru. Pilihan jurusan di kampusnya tidak terlalu variatif. Mayoritas jurusan pendidikan di mana lulusannya kebanyakan akan menjadi guru. Jauh sekali dari jurusan Sastra Indonesia yang aku mau, di mana aku seharusnya bisa belajar teori sastra, industri penulisan kreatif, jurnalistik, dan mata kuliah lain yang menurutku lebih menarik.
Tapi kembali lagi. Pilihan itu lebih baik daripada tidak ada pilihan sama sekali. Jadi aku akan ke sekolah hari ini untuk memberikan berkas pada Bu Rani.
Langkahku terhenti begitu memasuki gerbang sekolah. Amara berdiri di depan. Kami terdiam beberapa saat. Interaksi kurang bersahabat di rumahku terakhir kali masih belum berakhir dengan penyelesaian sehingga menyisakan momen canggung seperti saat ini.
Kuangkat tanganku, memberi isyarat hai. Amara mengangguk.
“Mara,” sapaku kikuk.
“Jul,” balas Amara tak kalah kikuknya.
Amara memulai percakapan. “Gimana…kabar kamu?”
Sungguh aku ingin bilang bahwa aku sedang kacau. Physically, well. Mentally, dead inside.
“Yah, baik,” ucapku menghindari drama mengasihani diri sendiri. “Kamu sendiri…gimana?”
Amara menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. “Aku…oke. Baik juga.”
Hening lagi.
“Gimana dengan pendaftaran universitas?” Akhirnya aku menguji nyali dengan melemparkan pertanyaan yang aku sadar bisa jadi memantik pergolakan batin. Tapi aku juga merasa harus menebus rasa bersalah atas sikap menyebalkanku pada Amara saat dia mampir ke rumah terakhir kali saat kami membicarakan topik perkuliahan.
“Oh. Soal itu. Aku... sudah diterima. Jurusan Sastra Indonesia.”
Jawaban Amara membuatku tertampar.
Aku mengeja perlahan-lahan fakta yang barusan kudengar. Lamat-lamat kucerna dengan baik. Sedikit demi sedikit perasaan berbuncah antara sedih, marah, dan iri mendorong pikiranku untuk mulai membandingkan nasib dengan Amara.
Amara akan masuk ke jurusan Sastra Indonesia. Dia akan mempelajarinya di bangku kuliah. Aku juga bisa sih, kuliah. Tapi di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Di kampus yang nggak jelas, pula.
Kutarik napas dan mulai menuntut jawaban yang kuharap bisa langsung kudengar dari Yang Mengatur Kehidupan.
Jadi begini akhirnya? Kenapa begini? Apa salahku? Aku bukan anak malas yang tidak pernah belajar. Nilaiku tidak pernah buruk. Beberapa kali aku menduduki peringkat satu di kelas. Aku juga bukan murid yang suka membangkang, melanggar peraturan, atau bikin onar. Aku bukan murid yang membuat guru-guru kecewa karena tidak pernah mengerjakan tugas.
Jika bukan salahku, apa salah keluargaku? Papaku bukan orang yang malas bekerja. Mamaku selalu memperlakukan orang lain dengan baik. Kami tidak pernah memiliki hubungan buruk dengan orang lain. Tapi kenapa Papa yang tertimpa sial? Kenapa Papa yang harus di-PHK? Hanya karena satu masalah, satu kejadian ini. Begitu banyak efek domino yang harus ditanggung aku dan keluargaku, termasuk salah satunya aku hampir tidak bisa kuliah.
Padahal Amara dan aku selalu bersama-sama. Kami memperjuangkan hal-hal yang sama. Aku yakin usaha kami pun sama. Belajar kami sama kerasnya. Kontribusi kami di klub sama banyaknya. Kan hasil itu harusnya sebanding dengan usaha. Namun kenapa hanya dia yang dapat kesempatan sementara aku terjebak di satu pilihan yang munculnya pun seperti keajaiban?
Apakah aku kurang berusaha? Apakah aku kurang bersikap baik? Apa salahku dan salah keluargaku? Kenapa dunia tidak adil?
Terngiang kembali janji kami untuk menjadi penulis best-seller se-Indonesia di atas pikap Bang Yanto. Setelah melihat situasi ini, nampaknya hanya salah satu dari kami yang bisa mewujudkannya. Dadaku sesak, penuh dengan iri dan dengki yang bercokol. Kepalaku seakan mendidih, penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan pada Tuhan atas garis hidup yang terlalu berbeda antara aku dan Amara.
Jurusan Sastra Indonesia. Aku juga mau.
“Kamu sendiri gimana?” tanya Amara, membuyarkan kontemplasiku.
Pertanyaan Amara yang bermakna ingin tahu itu lebih terdengar seperti hinaan untukku. Entah mengapa kemudian, seakan ada tombol otomatis dalam kepala, yang mengirim susunan kata secara beruntun saat aku membuka mulut,