Catch You Later!

Indah F. Wahyuni
Chapter #8

Penulis itu Bernama Sora


Mobil pikap yang kusetir tersendat-sendat memasuki halaman sekolah. Harusnya aku membawa mobil ini ke bengkel karena empunya sudah mewanti-wanti sejak dua minggu yang lalu. Tapi aku bilang iya-iya-iya terus, tak kunjung berangkat.

“Habis kirim dari mana, Bu Juli?”

Pak Gino berbasa-basi setengah berteriak seperti biasanya sambil menata motor guru-guru begitu mesin mobil kumatikan. Beliau hafal dengan rutinitasku mengirim sayur setiap pagi. Lalu aku akan sampai di sekolah menggunakan pikap dengan badan yang sudah tercampur aroma sawi atau brokoli.

“Dari Purwosari, Pak!” jawabku sambil melambai untuk bergegas ke kantor untuk mencatat presensi.

“Lah, bukannya kalau sayur di Purwosari kirimannya dari Nongko Jajar?” sahut Pak Gino lagi.

“Mana saya tahu! Mungkin sayurnya masih bentuk tunas dan belum siap panen!” jawabku sekenanya.

Catat presensi, check.

Ambil buku dan speaker dari loker, check.

Mengisi tumbler dengan kopi instan dan air panas, check.

Begitulah rutinitasku setiap hari selama kira-kira lima tahun terakhir, lima kali seminggu. Sekitar pukul 04.00 subuh, aku mengantar dagangan Bang Yanto yang kini jadi juragan sayur ke desa-desa tetangga. Lalu memastikan sayur sampai paling tidak sampai tujuan pukul 06.00. Kemudian aku akan langsung tancap ke SMA Insan Cendekia untuk mengajar Bahasa Inggris, demi menuntaskan salah satu janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga karena yayasan Insan Cendekia pemberi beasiswaku mensyaratkan pengabdian tersebut selama paling tidak tiga tahun. Untung Bang Yanto baik, meminjamkan mobil pikap legendaris ini supaya aku tidak terlambat. Jadi aku bisa langsung gas ke sekolah setelah mengantar sayur.

Menjadi guru yang bukan cita-citaku ternyata tidak buruk-buruk amat. Awal mengajar mungkin menyulitkan, apalagi untuk orang yang tidak terbiasa public speaking sepertiku. Tapi seperti skill lain, berbicara di depan umum adalah sesuatu yang bisa dipelajari. Semakin sering dilakukan, semakin lancar. Practice makes perfect.

Kekurangannya paling cuma satu: gajinya tidak terlalu banyak dengan tugas yang menumpuk setinggi Gunung Penanggungan. Selain mengajar, guru harus melakukan penyusunan rencana pembelajaran, mengoreksi tugas siswa, belum lagi menangani konsultasi siswa dan amukan orang tua (kalau ada) di luar jam sekolah alias malam-malam. Mungkin kalau aku guru pegawai negeri sipil, aku tidak akan terlalu mengeluh, karena biasanya ada beberapa tambahan uang seperti tunjangan.

Karena gaji yang belum mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari itulah, maka aku harus putar otak dengan mencari sampingan. Jadi aku meminta secara khusus pada waka kurikulum supaya bisa mengajar kelas sebelas saja. Jadi, aku tidak perlu terus-terusan membuat rencana pembelajaran, soal-soal tes, atau bahan ajar untuk kelas berbeda setiap tahun. Itu semua bisa di-reuse dan recycle. Cerdik kan aku? Less work, more time.

More time untuk membantu Bang Yanto dengan menjadi kurir sayur.


“Morning, class!”

Sepatuku berpletokan di dalam kelas.

“Morning, Madam!”

Aku geleng-geleng kepala. Anak-anak didikku ini semenjak kuluruskan bahwa panggilan ma’am untuk guru adalah versi pendek dari madam dan bukannya mom, mereka lebih suka memanggilku madam.

Setelah ritual berdoa sebelum memulai pelajaran dan tanya kabar, seperti biasa aku mengulas pembelajaran sebelumnya. Kali ini topiknya adalah simple past tense. Murid-murid sudah aku tugaskan untuk membaca cerita pendek kesukaan mereka dalam bahasa Inggris selama seminggu kemarin. Tugas ini menyenangkan untuk mereka yang suka membaca. Tidak untuk yang ogah-ogahan. Kalau ada yang malas-malasan begitu biasanya aku akan kasih saja mereka cerpen The Gift of the Magi karya O'Henry.

“Any question?”

Aku melempar pertanyaan pamungkas setelah berbusa-busa menerangkan formula dan fungsi kalimat past tense, berikut cara untuk menyusunnya. Biasanya setelah menjelaskan, akan ada dua macam respon: banyak tangan teracung ke udara, atau diam seperti saat ini. Sejujurnya aku lebih memilih banyak pertanyaan daripada mereka diam karena itu indikasi yang lebih mengkhawatirkan. Perlu dicurigai apakah mereka sudah paham atau tidak. Dan itu berarti kredibilitasku sebagai guru dipertanyakan.

“Kalau begitu, sekarang tugas kalian adalah mencari kalimat-kalimat past tense yang kalian baca dari cerpen selama seminggu kemarin. Kemudian, mengartikannya dalam bahasa Indonesia,” titahku setelah tidak ada suara selama satu menit.

“Tapi, Madam, akan ada banyak sekali.” Tangan Lusi terangkat ke udara dengan muka memelas.

Aku tersenyum jahat. “Exactly.”

Terdengar suara berisik anak-anak mengambil buku dan alat tulis dari dalam tas.


Setelah sepuluh sampai lima belas menit memberikan tugas, biasanya aku akan mulai berkeliling, memeriksa kalau-kalau mereka ada kesulitan–atau lebih buruk, tidak mengerjakan tugas.

Nampaknya murid-murid kesayangan sudah hafal dengan kebiasaan gurunya yang seliweran saat momen ini. Memang harus dibiasakan supaya mereka tidak gampang meleng dan berujung menghabiskan waktu pelajaran melamun. Setelah beberapa meter, langkahku terhenti di meja Nisa yang sepertinya tidak sadar dengan kehadiranku. Buku tulisnya terbuka di meja dengan deretan kalimat past tense berikut artinya, lengkap dan rapi. Tapi yang menarik perhatianku bukan tugas Nisa yang nampaknya sudah selesai, melainkan novel yang terbuka di laci bawah mejanya.

“Nisa,” panggilku.

Nisa berjengit sedikit di tempat duduknya. Matanya menatapku bagai melihat setan di siang bolong.

“Yes, Madam.” Buru-buru dia menyelipkan kembali bukunya ke dalam laci.

“What were you doing?”

“Re–reading,” katanya tak bisa berbohong.

“Baca apa?”

Nisa mengeluarkan novel berjudul Pintu ke Dunia Lain. Kuulurkan tanganku meminta buku tersebut. Dengan ogah-ogahan Nisa menyerahkannya.

“What do you remember about our rules?”

“No unrelated reading material during class, Madam.”

Aku mengangguk. “Membaca itu bagus. But you know the rules. Kalau kamu sudah selesai, saya bisa kasih tugas tambahan untuk kamu. Also for this,” kulambai-lambaikan novel itu, “you can get this back later. I’ll be in the library during break time.”

***

Kubolak-balik novel Pintu ke Dunia Lain sesampainya aku di perpustakaan. Melihat dari cover dan blurb, sepertinya ini buku terbitan baru. Terlihat dari desain grafis dan gaya bahasanya. Blurbnya menceritakan tentang penjual toko kelontong yang selalu mengalami hal-hal mistis di tokonya. Menarik juga. Cerita-cerita mistis bercampur realita kehidupan nampaknya sedang hits akhir-akhir ini. Mungkin aku harus mulai membaca karya penulis-penulis terkini supaya aku bisa sedikit nyambung dengan murid-muridku.

Kubaca nama penulis yang tertera di sampul, siapa tahu bisa kucari buku ini nanti di toko. Samara Sora.

Samara. Sora.

Kueja perlahan-lahan nama itu. Samara. Sora.

Deg.

Lihat selengkapnya