Aku sampai di rumah hampir pukul setengah sembilan malam. Mama yang baru keluar dari kamar mandi langsung memberondong dengan beberapa pertanyaan.
“Dari mana saja Jul? Kok malam banget? Tumben baru pulang? Kenapa nggak kabari?”
Lalu kuceritakan agenda rapat dan pengiriman sayur mendadak tadi sore. Mama tersenyum lemah. Tersirat rasa kasihan di wajahnya.
“Oh begitu. Kamu sudah makan? Itu tumis udang belum Mama masukkan ke kulkas. Ada juga tempe goreng, tapi sudah dingin.”
“Iya, Ma, nanti Juli makan kalau lapar,” jawabku singkat, meyakinkan Mama bahwa anaknya ini sudah tidak perlu dikhawatirkan kalau urusan makanan.
Selesai mandi, aku menyimpan tumis udang buatan Mama ke dalam kulkas. Bukan karena aku tidak lapar. Perutku yang batal diisi bebek goreng tadi sore beberapa kali berkerucuk. Tapi semua itu terasa tidak penting sekarang.
Setelah merebahkan diri di kasur, aku sudah bersiap membuka plastik pembungkus buku Samara Sora. Sesuatu yang sangat jarang sekali kulakukan setiap beli buku karena aku selalu menunda membaca buku-buku yang baru kubeli, sehingga kebanyakan dari mereka tertumpuk rapi di lemari, bebas dari jamur dan kertas yang menguning.
Tapi aku tidak mau menunda membaca buku kali ini. Bukan hanya karena sinopsis-sinopsis yang kubaca sekilas terdengar menarik, namun membacanya akan sekaligus menjawab pertanyaanku tentang apakah identitas penulis ini sama dengan sahabatku di masa SMA. Yang itu berarti satu hal: kemungkinan aku akan bisa menemukan Amara lagi.
Sejenak berkelibat rasa takut saat aku akan membuka buku Samara Sora. Beribu pertanyaan menjejali kepalaku. Apakah Samara benar Amara? Bagaimana kalau dia benar Amara? Jika dia adalah Amara, dan aku menghadapi kenyataan bahwa sekarang Amara adalah penulis dengan beberapa karya, apakah aku akan masih merasa iri? Seperti saat aku mengetahui bahwa nasibku dan nasibnya tidak sama saat SMA?
Aih. Kuhapus pikiran-pikiran picikku. Kubuka buku pertama yang kubeli: Tarian atau Sekedar Kayang, dengan sampul bergambar karakter dua gadis yang sedang benar-benar kayang. Ada-ada saja. Dari blurb, buku ini bercerita tentang dua sahabat yang dipisahkan jarak dan waktu. Aku tidak tahu kenapa sampulnya gambar orang kayang, tapi mungkin ini sebuah metafora. Sedikit rasa GR terbesit di hati setelah membaca blurb, menebak dan mengira kalau-kalau buku ini menuliskan kisahku dan Amara. Namun cepat-cepat pikiran itu kutepis. Yang benar saja, Jul. Cerita tentang persahabatan itu pasti ada ribuan judul di seluruh dunia dan aku cukup yakin Amara tidak akan repot-repot menuliskan kisah seseorang (yang katanya dan mengaku) sebagai sahabat tapi sudah menyakiti hatinya.
Ika Natassa menulis dalam bukunya yang berjudul Critical Eleven, bahwa manusia memiliki caranya sendiri untuk berdamai dengan kehilangan.
Kalimat pembuka di halaman pertama tersebut langsung menyalakan lampu dalam kepalaku. Hmm. Ika Natassa. Penulis kenamaan Indonesia itu menguatkan ingatan akan Amara di SMA. Ini karena sepanjang masa sekolah, Amara hampir tidak pernah absen membicarakan Ika Natassa. Di klub, di kantin, di perpustakaan, bahkan di lapangan basket. Dia sangat mengagumi penulis tersebut dan selalu mengoceh akan memasukkan nama Ika Natassa dalam novelnya.