Catch You Later!

Indah F. Wahyuni
Chapter #9

Chapter 9

Chapter 9


Aku sampai di rumah hampir pukul setengah sembilan malam. Mama yang baru keluar dari kamar mandi langsung memberondong dengan beberapa pertanyaan.

“Dari mana saja Jul? Kok malam banget? Tumben baru pulang? Kenapa nggak kabari?”

Lalu kuceritakan agenda rapat dan pengiriman sayur mendadak tadi sore. Mama tersenyum lemah. Tersirat rasa kasihan di wajahnya.

“Oh begitu. Kamu sudah makan? Itu tumis udang belum Mama masukkan kulkas. Ada juga tempe goreng tapi sudah dingin.”

“Iya, Ma, nanti Juli makan kalau lapar.”

Selesai mandi, aku menyimpan tumis udang mama ke dalam kulkas. Bukan karena aku tidak lapar. Perutku yang batal diisi bebek goreng tadi sore beberapa kali berkerucuk. Tapi semua itu tidak penting sekarang. 

Di kasur, aku sudah bersiap membuka plastik pembungkus buku Samara Sora. Sesuatu yang sangat jarang sekali kulakukan setiap beli buku karena aku selalu menunda membaca buku-buku yang baru kubeli, sehingga kebanyakan dari mereka tertumpuk rapi di lemari, bebas dari jamur dan kertas yang menguning.

Tapi aku tidak mau menunda membaca buku kali ini. Bukan hanya karena sinopsis-sinopsis yang kubaca sekilas terdengar menarik, namun membacanya akan sekaligus menjawab pertanyaanku tentang apakah identitas penulis ini sama dengan sahabatku di masa SMA. Yang itu berarti satu hal: kemungkinan aku akan bisa menemukan Amara lagi.

Ada rasa takut saat aku akan membuka buku Samara Sora. Beribu pertanyaan menjejali kepalaku. Apakah Samara benar Amara? Bagaimana kalau dia benar Amara? Jika dia Amara dan aku mengetahui bahwa sekarang Amara adalah penulis dengan beberapa karya, apakah aku akan masih merasa iri, seperti saat aku mengetahui bahwa nasibku dan nasibnya tidak sama saat SMA?

Aih. Kubuka buku pertama yang kubeli: Tarian atau Sekedar Kayang, dengan sampul bergambar karakter dua gadis yang sedang benar-benar kayang. Ada-ada saja. Dari blurb, buku ini bercerita tentang dua sahabat yang dipisahkan jarak dan waktu. Aku tidak tahu kenapa sampulnya gambar orang kayang, tapi mungkin ini sebuah metafora. Sedikit rasa GR terbesit di hati setelah membaca blurb, menebak dan mengira kalau-kalau buku ini menuliskan kisahku dan Amara. Namun cepat-cepat pikiran itu kutepis. Yang benar saja, Jul. Cerita tentang persahabatan itu pasti ada ribuan judul di seluruh dunia dan aku cukup yakin Amara tidak akan repot-repot menuliskan kisah seseorang (yang katanya dan mengaku) sahabat tapi sudah menyakiti hatinya.


Ika Natassa menulis dalam bukunya yang berjudul Critical Eleven, bahwa manusia memiliki caranya sendiri untuk berdamai dengan kehilangan.


Lihat selengkapnya