Sudah dua minggu email impulsif itu terkirimkan, responnya sesuai dugaanku: belum ada balasan sampai sekarang. Bisa saja banyak kemungkinan terjadi. Mungkin masuk kotak spam, mungkin juga tertumpuk email yang lebih penting, atau mungkin dikira orang mau pinjam hutang. Sempat terpikir apakah harusnya aku mengirimkan email lagi, tapi yang benar saja. Surat pertama saja sudah cukup bikin tengsin.
Bihun goreng di piring entah sudah kuaduk berapa kali sampai bentuknya tidak karuan. Dari tadi bakso sapi dan udang lama-lama penuh tusukan garpu, tak kunjung masuk mulut.
“Nggak suka rasanya?” tanya Mama yang baru kembali dari dapur.
Oh, tentu saja Mama sangat observant dengan kelakuanku tiap memainkan makanan. Tapi mungkin juga sedikit heran karena bagiku, masakan Mama rasanya selalu juara.
“Enak kok, Ma,” ucapku akhirnya, sambil memasukkan bihun yang sudah dipelintir garpu ke dalam mulut.
Sepiring tempe goreng disodorkan ke depan mukaku. Ah, makanan keramat. Sejak beranjak dewasa, sesajen tempe goreng sudah menjadi praktek Mama untuk menyogok aku, alias membuatku bahagia kalau muka sudah kelihatan kusut dan sumpek. Tempe goreng panas yang hanya dibumbui bawang putih dan garam itu sudah semacam kopi hitam, kacang, dan gorengan yang tersaji di depan bapak-bapak saat sedang melaksanakan ronda malam di gardu. Bikin cerita dan gosip keluar semua. Kalau sudah ada tempe goreng, berarti itu waktunya quality time bersama Mama. Lihat saja, dari awalnya berbagi hal-hal lucu di tempat kerja dari rekan guru, cerita lucu dari murid-murid, sampai lama-lama akan keluar semua keluh kesah dalam hidup.
Kulahap tempe panas-panas. Uh, uenak.
Kuambil sepotong lagi.
Dang, I can eat tempe for the rest of my life and be the happiest person in the world.
“Sejak pulang kerja tadi kamu kelihatan murung. Ada masalah di sekolah?”
Nah, terbuka juga pertanyaan pancingan dari Mama, setelah potongan tempe ketiga.
Aku berhenti mengunyah. Kuteguk air putih dalam gelas. Awalnya aku ragu apakah luka dan aib lama ini mesti dibagikan dengan beliau.
Tapi, sejujurnya aku tidak punya teman banyak. Palingan Bang Yanto, yang obrolannya tidak pernah jauh-jauh dari sayur-mayur. Di sekolah pun orang-orang hanya datang dan pergi, sehingga aku tidak pernah benar-benar ada teman untuk diajak bicara dari hati ke hati.
Kata orang, punya orang tua yang tidak menghakimi itu adalah sebuah privilege. Banyak anak di luar sana tidak beruntung karena merasa tertekan ketika mereka berusaha terbuka pada orang tua sendiri. Seringnya, terlanjur dihakimi atau diceramahi sebelum selesai bercerita atau berkeluh kesah. Padahal, orang tua adalah tempat pertama anak mengadu. Jika pengalaman mereka berkomunikasi dengan orang tua kurang mengenakkan, maka kemungkinan mereka tidak akan mempertimbangkan untuk terbuka lagi pada orang tuanya.
Beruntungnya, Mama dan Papa tidak seperti itu. Seharusnya aku bisa lebih terbuka pada mereka untuk apapun. Tapi sejujurnya, yang menahanku untuk tidak bercerita tentang masalahku dengan Amara pada Mama adalah karena aku malu. Malu pada diriku sendiri. Malu pada sikapku.
“Mama… ingat Amara?”
Akhirnya aku bertanya. Aku tidak akan pernah tahu kalau tidak dicoba, kan?
“Hmm? Teman SMAmu? Ingat lah. Masa lupa, Jul. Orang dulu kalian main bareng terus. Gimana kabarnya sekarang?”
Deg.
“Juli…nggak tahu,” jawabku ragu.
Suapan tempe Mama terhenti. “Nggak tahu? Nggak pernah kontakan?”
Aku menggeleng.
“Ooh. Mama pikir kamu masih kontakan sama dia.”
Kugigit bibir. Sebenarnya banyak cerita anak SMA sudah jarang berhubungan dengan temannya lagi. Such is life. It just goes on. Ketemu teman baru di kuliah, akan ganti circle. Ketemu teman baru di tempat kerja, maka intensitas berhubungan dengan teman-teman jaman sekolah pun lama-lama sangat mungkin berkurang.
Tapi mempertimbangkan aku dan Amara yang selalu bersama saat SMA, dengan hobi yang sama, dengan sifat yang saling melengkapi bagai garam dan merica, aku memahami jika ekspektasi Mama sedikit berbeda.
“Juli sudah nggak pernah kontakan dengan Amara sejak dia pindah,” ujarku pelan, dirundung rasa bersalah.