Catch You Later!

Indah F. Wahyuni
Chapter #12

The Game is On!


Setelah memastikan bahwa si nenek sudah sampai di rumah, disambut oleh anak dan kucingnya, aku bergegas menuju kantor dispendukcapil. Seperti kata bapak di minimarket, letaknya tidak jauh dari rumah nenek tersebut.

Aku menghampiri meja layanan setelah mengambil nomor antrian dan dipanggil lima belas menit kemudian. Tapi nasibku tampaknya sedikit apes begitu aku duduk di belakang komputer. Petugas dispendukcapil gendut berwajah jutek penuh kerutan itu bahkan tidak repot-repot melirikku saat aku maju ke mejanya. Matanya sibuk bergulir dari atas ke bawah mengikuti huruf di layar komputer, mungkin masih mencoba menyelesaikan layanan sebelumnya.

“Ada perlu apa?” tanyanya cuek begitu aku duduk.

Aku berdeham sejenak. “Saya... mau tanya alamat seseorang, Pak.”

Barulah dia berhenti menatap layar komputer. Lalu mengintipku dari balik kacamatanya.

“Buat apa cari alamat orang?”

“A–ada perlu, Pak,” jawabku berusaha terdengar senormal mungkin.

Ternyata usahaku terdengar normal tidak berhasil. Berikutnya, dia mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Perlu? Perlu apa? Kamu siapanya?”

“Perlu.. Eh.. Saya... temannya, Pak.” Aku mengutuk diri sendiri kenapa harus tedengar kebingungan. Hal yang seperti ini nih, membuat orang tidak yakin.

“Lah, kalau memang teman, kenapa kamu nggak punya alamatnya? Soalnya kita nggak bisa nih, main kasih alamat penduduk kalau tujuan nggak jelas.” Si bapak petugas kembali bermain dengan tetikus.

Kugaruk kepala. Aku bingung memutuskan apa aku harus jujur atau berpura-pura. Tapi aku tak pandai berbohong, apalagi secara spontan. Jika ingin bersandiwara di depan bapak ini, aku harus menulis naskah dulu dan ikut latihan di klub teater selama dua minggu supaya terdengar meyakinkan. Jika aku jujur, ceritaku dan Amara akan terdengar sangat dramatis. Jika aku berbohong, aku akan kesulitan membuat kebohongan-kebohongan tambahan.

“Kami, lama tidak bertemu, Pak,” jawabku pelan-pelan. Membuat penjelasan sesederhana mungkin.

“Telepon, dong!”

“Ng.. Nggak punya juga.”

Dia berhenti memainkan tetikus.

“Aneh banget. Anak muda jaman sekarang masa nggak tahu nomor telepon temannya. Ya cari sana, lewat Mesbuk!”

“Facebook?”

“Iya!”

Duh, si bapak nggak akan pernah mengerti. Dan yang benar saja. This could take forever.

“Hm.. Begini, Pak. Saya nggak tahu alamatnya dan nggak tahu nomor teleponnya karena hubungan dia sama saya rumit. Kira-kira gini, bayangkan Bapak punya mantan, terus nggak pernah kontakan lagi lama banget, dan dia pindah. Apa Bapak bisa tahu alamatnya dan dia mau terima chatnya Bapak lewat Mesbuk?”

“Hayo. Jadi mau ke rumah teman apa mantan?”

Analogi yang tepat banget, Jul! Dia makin nggak percaya.

“Teman, Pak. Suer! Tapi saya bertengkar sama dia. Makanya saya nggak punya alamatnya!” kilahku.

“Jangan bohong! Jangan-jangan kamu mantan terus sekarang mau jadi pelakor!”

Sial. Untung suaranya nggak keras. Bisa-bisa aku jadi buronan istri-istri kesepian nanti.

Lihat selengkapnya