Catch You Later!

Indah F. Wahyuni
Chapter #13

Amarah si Amara


Aku tidak sempat menanggapi ucapan terima kasih dari Pak Sugeng karena terburu-buru menyelinap keluar supaya tidak ketahuan dan dicurigai petugas lain. Kulambaikan tangan padanya begitu keluar dari gedung dispendukcapil.

Kulajukan mobil pikap ke alamat rumah Amara setelah mencarinya di Google maps. Untung jaman sekarang serba mudah. Tinggal masukkan alamat, lalu tekan cari. Google akan memberikan petunjuk jalan menuju tujuanmu. Bahkan memberikan alternatif jalur terbaik dan memberitahu padatnya lalu lintas. Membantu sekali untuk diriku yang pasti merasa awkward kalau terus-terusan bertanya pada orang arah jalan ke rumah Amara.

Mengingat kondisi perekonomian keluarga Amara, aku semacam mengira dia akan tinggal di kawasan perumahan elite. Apalagi dia sekarang menjadi penulis. Kubayangkan Amara tinggal di daerah dengan sistem sekuriti lengkap karena mungkin dia sudah menjadi semacam selebritis? Tapi ternyata aku salah. Jalan menuju rumah Amara agak sunyi. Tidak terlalu ramai oleh pertokoan dan rumah-rumah yang dalam bayanganku seperti istana, bahkan aku sempat melewati daerah-daerah persawahan.

Setelah dua puluh menit menyetir, aku masuk ke sebuah perkampungan. Di sini aku mulai kesulitan karena ternyata tidak semua rumah memasang nomor di depan bangunan, meskipun ada beberapa juga yang memasang. Nomor tiga belas.. empat belas.. enam belas.. tujuh belas.. dua puluh.. HAH?

Ternyata penomoran rumah yang sering tidak urut ini merupakan masalah nasional.

Aku melambat. Tadi di catatanku, alamat rumah Amara disebutkan nomor dua puluh lima. Seharusnya tidak jauh lagi dari sini.

Oke dua puluh satu.. dua puluh tiga.. dua puluh empat...

Angka dua puluh lima terpahat di papan kayu yang tertancap di depan sebuah halaman yang cukup luas.

Kutarik napas yang sedari tadi tak beraturan. Aku sudah sampai.


Rumah Amara cukup besar dengan gaya bangunan campuran arsitektur Belanda dan Jawa. Banyak daun jendela besar terbuat dari kayu. Ada teras cukup luas dengan beberapa pot bunga. Walau bangunan tua, terlihat kalau rumah ini terawat dengan baik. Terdapat halaman depan. Jalan menuju pintu depan bertabur kerikil. Di sebelah kiri ada pohon mangga yang menjulang tinggi dengan ayunan di rantingnya. Beberapa kursi terletak di atas rerumputan, tak jauh dari pohon mangga. Di sebelah kanan halaman ada kolam ikan yang airnya bergemericik. Tidak ada tanda-tanda manusia, tapi seekor kucing sedang tiduran di atas keset, dan beberapa burung mematuk-matuk biji-bijian di gantungan berisi biji-bijian dekat kolam.

Aku sejenak menikmati suasana di halaman depan itu, sebelum akhirnya sampai di depan pintu.

Kuketuk pintu sekali. Tidak ada jawaban.

Kuketuk dua kali. Masih tidak ada jawaban.

Ada tombol bel di dekat pintu sebelah atas. Kucoba menekan.

Masih belum ada jawaban.

Hm. Mungkin penghuninya sedang keluar. Tapi overthinking-ku sedang kumat. Pertanyaan mulai muncul. Bagaimana kalau pemiliknya bukan orang tua Amara lagi? Bagaimana kalau mereka pindah rumah lagi?

Kutepis pikiran-pikiran itu. Di data dispendukcapil, ini harusnya alamat Amara. Dan kalau pindah, pasti Amara sudah ganti alamat.

Mungkin pemilik rumah sedang keluar. Kuputuskan untuk menunggu dengan duduk di kursi dekat pohon mangga. Cukup nyaman, apalagi pohonnya rindang. Begitu angin sepoi-sepoi menyapu wajahku, perlahan mataku terpejam…


BUG!

Sesuatu empuk tebal menghantam kepala. Tergagap-gagap aku bangun dari tidur.

“Apa? Apa? Apa?!”

Mataku terbuka pada seorang lelaki tua setengah bungkuk yang membawa guling terbungkus kain bermotif bunga-bunga. Dia berkacak pinggang. Dari ukuran dan bentuknya, sepertinya guling itu tadi yang dia gunakan untuk membangunkanku dengan cara yang barbar.

“A-ampun!”

“Ayo bangun! Jadi anak gadis kok kebluk!”

BUG! BUG!

Guling berselimut sarung bunga-bunga itu kembali menghantam kepalaku yang belum sepenuhnya sadar.

Lihat selengkapnya