Catch You Later!

Indah F. Wahyuni
Chapter #14

The Seaweed is Always Greener


Bongkahan es batu dalam iced americano di atas meja sudah mulai mencair. Roti bakar dan kentang goreng juga tidak tersentuh sejak tadi, mungkin sudah kehilangan kerenyahan. Tidak ada suara, bahkan tidak ada cekcok antara kami berdua. Yang terdengar hanya suara ketikan di keyboard dengan cepat dari jari-jari Amara. Dia memicingkan mata beberapa kali, memandang layar laptop. Sesekali bola matanya berputar, lalu mencari-cari sudut untuk dipandang sambil memikirkan apa yang akan dia ketikkan berikutnya. Dia memandang ke arah mana saja: gelas kopi, kotak tisu, kucing liar, garpu dan pisau, bahkan rerumputan. Kecuali satu, ke arahku.

Sejujurnya momen diam-diaman ini lebih parah daripada suasana di rumah tadi. Saat Amara menyuruhku menyambar kunci mobil pikap, naik ke atas mobil dan pergi. Kemudian selama perjalanan pikap melaju, kami diam. Amara tidak terlihat ingin bicara, dan aku tidak tahu bagaimana memulai omongan. Yang ada hanya suara mesin mobil setengah ringsek yang sudah tersendat-sendat.

Dan kami berhenti di kafe yang kutemukan agak jauh dari daerah rumah Amara. Dia langung turun begitu saja dari mobil, membanting pintu, bergegas masuk ke kafe, memesan apapun yang ada di sana. Lalu duduk, mengeluarkan laptopnya, dan mulai menulis dalam diam, seakan aku tidak ada di sampingnya, macam anak bebek membuntuti induknya.

Suasana kafe yang sepi karena masih pagi semakin menambah kecanggungan. Selain kami, hanya ada dua pengunjung lain. Aku dan Amara menduduki kursi di halaman depan tepat di samping trotoar, dekat pagar tanaman dan semak-semak.

Aku tidak bisa terus-terusan membiarkan kami berdua diam seperti ini. Kucoba untuk memulai obrolan, walau bohong kalau aku tidak khawatir dengan respon Amara.

“Mara.” Terbuka juga mulutku. “Aku mau bicara.”

Yang diajak bicara berdecih. Bagiku yang mengenal dan memahami seluk beluk kamus bahasa Amara, ini bisa diartikan ‘ya udah sih, bicara aja kali’.

Dia lanjut diam. Tapi jari-jarinya terus menari di atas keyboard dengan cepat. Aku menghela napas.

“Kamu mau diemin aku sampai kapan, Mara?” tanyaku.

Amara berhenti mengetik. Matanya menatapku tajam.

“Jul, apa yang kamu mau?”

Singkat dan padat.


Apa yang aku mau? Aku mau kita bicara lagi, aku mau kita berteman lagi, aku mau memperbaiki persahabatan kita yang kuhancurkan di saat aku lagi bodoh-bodohnya.


“Aku mau minta maaf, Mara.”

Aku bisa-bisa saja menyiapkan dan membawakan pidato panjang berisi pembelaan atas sikapku pada Amara sekaligus permintaan maaf yang tulus. Namun rasanya saat ini, Amara mau mendengarkan tiga kata dariku tadi saja sudah syukur.

“Oh ya? Untuk apa?” sindirnya sinis.

Aku tidak bisa menjawab. Kurasa, aku dan Amara sama-sama tahu jawabannya. Sindiran Amara membuatku merasa, mengatakan apapun saat ini akan terdengar salah.

Lihat selengkapnya