“MALING! MALIIIIIIIING!”
“MALIIIING!”
Suaraku dan Amara bersahut-sahutan, tapi sia-sia karena pagi itu jalanan belum terlalu ramai. Amara dan aku terus berteriak, berharap ada yang membantu. Namun memang jalanan tidak ramai. Hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan masing-masing.
“Cepat! Cepat! Naik ke atas mobil!” jeritku, berlari menuju mobil pikap yang diparkir di sebelah trotoar. Amara mengikuti langkahku tanpa diperintah dengan terburu-buru. Kubanting pintu mobil dan memasukkan kunci. Amara masuk ke dalam mobil dengan panik.
“Dia ke mana, Jul?!” tanyanya, menoleh ke belakang lewat jendela dalam.
“Tadi ke sana!” tunjukku ke arah utara lalu bergegas menyalakan mesin mobil.
“Cepat Juuul! Cepaaaaaat!”
“Iya aku tauuu!”
Mobil pikap mengeluarkan erangan saat gasnya kuinjak. Mesin berderak dan mobil melaju namun dengan sedikit knalpot yang meletup-letup. Amara yang gemas memukul-mukul dasbor dengan frustasi, walau tak ada gunanya.
“Nggak bisa cepetan dikit, mobil ini?”
“Sabar. Ini sudah mentok gasnya, Mara! Dan jangan pukul-pukul. Ini bukan mobilku!”
“Hah. Punya siapa dong?”
“Bang Yanto! Lupa kamu?!” jawabku sekilas sambil melirik padanya.
“Ih, masa sih?! Kok buluk?!”
“Yakali! Umurnya sekarang udah bertahun-tahun lebih tua dari terakhir kali kamu liat!”
Aku menginjak gas sedalam mungkin, berusaha fokus dan berkonsentrasi pada arah tujuan si pencuri yang melesat. Ini bukan saatnya membicarakan spesifikasi mobil pikap Bang Yanto yang sudah tua dan berkarat.
“Jul! Jul! Lihat jalan!” teriak Amara tiba-tiba. Aku terkejut dan seketika memalingkan perhatian ke kiri jalan. Aku terlalu fokus melihat arah pencuri yang lari, hingga tak sadar kalau mobil kami tiba-tiba dengan barbarnya menyerempet sepeda penjual sayur yang diparkir di pinggir jalan.
GUBRAK!
Suara benturan keras memenuhi udara saat sepeda terguling. Sayur-sayur, bumbu-bumbu, dan bahan makanan lain di atas keranjang tumpah ke jalanan. Ban mobil belakang dengan leluasa menggilas sebagian besar barang dagangan tersebut. Penjual sayur yang sedang sarapan di warung dekat situ segera berlari keluar dengan marah, berteriak sambil mengucapkan sumpah serapah serta berusaha mengejar kami. Tapi aku tidak bisa menginjak rem–tidak untuk saat ini, dengan pencuri yang masih jauh di depan.
“MAAF BANG! NANTI KAMI BALIK! LAGI KEJAR MALING!” Amara berteriak sekencang-kencangnya sambil melongok keluar jendela, mencoba mengirimkan pesan damai. Sementara aku masih menjalankan mobil sekuat tenaga dengan kecepatan maksimum.
Setelah melaju sejauh tiga ratus meter, aku memicingkan mata karena tiba-tiba serombongan orang muncul di jalan dari belokan, berjalan menuju arah kami bersama kucing dan anjing yang mereka tuntun menggunakan harness. Mereka memenuhi dan memblokir jalanan, membuat situasi makin rumit.
“Ada apa lagi ini?!” seru Amara panik.