Aku mencoba berteriak memanggil Amara. Namun sia-sia. Lakban yang menempel di mulutku terlalu kuat. Sesaat kemudian, kain yang menutupi mataku dibuka. Aku sudah didudukkan di depan panggung yang tadi kami lihat. Kain putih terbentang di belakang panggung yang tadinya polos, sekarang dibubuhi cat hitam yang bertuliskan:
PUNCAK MAHAKARYA DENNY CORBUBUR
Amara yang ternyata duduk di sampingku meronta-ronta ketakutan. Menyadari aku di sebelahnya, dia melihatku. Kami saling bertatap mata cemas. Dia mencoba bicara, tetapi sia-sia karena mulutnya juga dilakban.
Di tengah ketakutan itu, seorang laki-laki bertubuh tegap dan berkepala botak keluar dari belakang panggung. Dia mengenakan kaos hitam ketat berlengan pendek, celana jins, dan kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Suara sepatu kulitnya yang beradu dengan panggung kayu menggema ke seluruh ruangan. Dari perawakannya, kami mengenali bahwa sosok itu adalah pencuri yang mengambil laptop Amara.
Amara meronta lagi. Aku yang biasanya tenang ikut ngereog. Di saat seperti ini, pikiran-pikiran burukku mulai muncul. Bagaimana kalau kami diculik? Bagaimana kalau kami diperjualbelikan? Bagaimana kalau...
Ah! Aku tak sanggup membayangkannya.
Sorot lampu tiba-tiba mengarah dari bawah panggung ke arah pencuri. Dia tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi, lalu mulai berbicara dengan suara yang keras.
“Pemirsa. Selamat datang. Di pertunjukan puncak mahakarya Denny Corbubur!”
Bersamaan dengan itu suara musik menggelegar mengisi ruangan, membuat kami semakin panik.
“Saya, Denny Corbubur, akan mempersembahkan penampilan saya yang terakhir dan paling spektakuler! HAHAHAHA!” Tawanya menggema ke seluruh ruangan.
Denny Corbubur menjentikkan jarinya. Seketika itu dua orang asisten mengenakan kaos, kacamata, dan celana hitam muncul dari kanan kiri panggung. Denny Corbubur lalu menunjuk kami berdua. Kedua asisten itu nampak memahami perintahnya, lalu mendekati kami dan melepaskan lakban dari mulut.
“HEY! LEPASIN KAMI!” Amara seketika berteriak marah begitu lakban dibuka.
Denny Corbubur melirik Amara. Lalu meletakkan telunjuknya di depan bibir dengan gerakan slow motion, memberikan isyarat untuk diam.
“IYA! LEPASIN! DASAR MALING! MALIIIIING!” Aku ikut beringas.
“APA MAUMU, PENCURI?!!!” Amara memekik.
“LEPASIN KAMI SEKARANG!” Aku menyahut dengan nada yang sama.
Denny Cobubur menatap kami dengan tajam.
“DIAM!” bentaknya.
Teriakannya yang menyeramkan membuat kami serentak diam.
“Aku akan melepaskan kalian, kalau kalian mau menuruti perintah dan instruksiku,” katanya dengan nada tegas.
“Kalau tidak?!” balas Amara.
“Kalau tidak, kalian akan merasakan ganjarannya!” Denny Corbubur melotot.
“Lepasin sekaraaaang!!” teriak Amara frustasi, meronta lagi.
“SAYA BILANG DIAM!” bentak Denny Corbubur. Dia mengedikkan kepala ke arah asistennya, memberikan isyarat. Kedua asisten mengangkat kotak plastik besar transparan berisi ribuan ulat bulu ke atas kepala kami.
“JUUUUUULLLL!” Amara ngereog demi melihat sekumpulan makhluk menggeliat penuh bulu dalam kotak tersebut.
“NGAAAAAAAAAAAAA!!!” Aku ikut meronta-ronta dan bergidik, membayangkan bulunya memberikan bentol-bentol di sekujur tubuhku.
“APA SAYA BILANG HAH?! DIAM! DIAM KALAU KALIAN TIDAK MAU ULAT-ULAT BULU INI TUMPAH DI ATAS KEPALA KALIAN!” Denny Corbubur mengancam.
Kami spontan terdiam. Amara mengunci bibirnya sembari melotot.