Catch You Later!

Indah F. Wahyuni
Chapter #17

The Friends We Keep


“Jadi, nama Bapak siapa?” tanya Amara begitu kami duduk di atas mobil polisi.

“Nama? Sudjojo.” Polisi tersebut memelintir kumisnya dan mulai menginjak gas.

“Pak Djojo kok bisa sampai Banjarnegara?” Aku ikut menimpali.

Keningnya berkerut, antara fokus menyetir dan memutuskan untuk memberi jawaban atau tidak.

“Aku dimutasi ke mari,” jawabnya pendek.

“Ooh, kenapa memang, Pak? Keluarga ada di sini?” sahut Amara kepo.

“Banyak tanya kalian ya.” Pak Djojo terdengar sedikit senewen.

Kami mengangkat tangan.

Pak Djojo mengerucutkan bibir, kumisnya bergerak-gerak. “Aku dimutasi karena dulu pernah mengritik atasan.” Ada nada kesal dalam suaranya.

Aku dan Amara saling menatap.

Baru saja aku akan membuka mulut, Pak Djojo dengan cepat menyambar. “Sudah, jangan tanya-tanya lagi.”

Dan kami diam selama sisa perjalanan.

Pak Djojo akhirnya berhenti dan menurunkan kami di pinggir jalan, dekat mobil pikap yang nampaknya sudah diderek oleh petugas ke dekat trotoar.

“Saya kira kita ikut Bapak ke kantor,” tukas Amara begitu kami turun dari mobil.

Pak Djojo menatap kami berdua sesaat, lalu mendengus. “Sudah, kali ini aku maafkan. Semoga lain kali kalau ketemu, kalian nggak bikin masalah lagi. Kalau ketemu dan kalian masih bikin masalah lagi, aku suruh kalian ke rumah pas lebaran, bawa jeruk tiga kilo!”

Aku dan Amara tersenyum geli.

“Terima kasih, Pak!” Aku dan Amara melambaikan tangan begitu Pak Djojo dan mobil polisinya melesat.


Tampang kami yang serabutan ditemani seorang polisi mengundang cukup simpati. Bahkan, penjual sayur yang dagangannya kami hancurkan setengahnya tidak jadi marah saat kami menjelaskan bahwa laptop Amara pura-pura dicuri penculik gadungan.

Kami kemudian kembali ke kafe yang sudah mulai ramai karena hari menjelang siang. Kami duduk di satu sudut, sementara Amara memeriksa laptopnya, dari ujung ke ujung, dari luar ke dalam. Dia juga melihat isi harddisk-nya, memastikan bahwa semua data masih lengkap dan aman.

Aku menyeruput es teh yang ada di meja. Masih sedikit kelelahan setelah mengejar maling dan berhadapan dengan pesulap sinting. Sesekali aku mencomot kentang goreng untuk meredam perutku yang keroncongan karena belum makan sedari pagi.

Amara menghela napas sambil mengangguk-angguk.

“Sudah aman, Jul.”

“Syukurlah.” Aku mengambil sepotong kentang lagi.

“Kamu lapar?” tanya Amara.

Bahkan kalau aku bilang tidak, kentara sekali aku berbohong karena detik berikutnya perutku berkerucuk.

Dua piring nasi mengepul hangat tersaji di depan kami tak lama kemudian. Lengkap dengan dua potong ayam goreng, sambal, dan lalapan. Masih ada juga beberapa potong tempe dan tahu.

“Kamu punya backup data-data itu?” tanyaku memulai pembicaraan dengan sedikit canggung. Sungguh suasana yang aneh pagi ini, diawali dengan pertengkaran akibat masa lalu, kemudian perlahan kami kembali ‘berbaikan’ setelah mengejar pencuri laptop. Kembali duduk bersama, makan nasi lalapan ayam goreng komplit seperti dua saudara yang bertengkar, tidak bicara apa-apa selama beberapa hari, kemudian kembali rukun begitu saja.

“Nggak, Jul. Semuanya ada di harddisk laptop,” jawab Amara dengan mulut penuh timun dan sambal.

Lihat selengkapnya