Percakapan kami semalam membuatku terjaga. Renungan di makam ayah Amara tak hanya sedikit membangkitkan semangatku, tapi juga semacam menyadarkanku bahwa jika aku ingin mencapai suatu tujuan, seharusnya aku melakukannya karena itu adalah hal yang kuinginkan, karena itu adalah mauku, bukan karena termotivasi orang lain.
Dipikir-pikir, sekian tahun berlalu, Amara tidak hanya lebih dewasa, namun nampaknya mulai berbakat jadi motivator. Aku mulai menerka-nerka, Amara sering mendapatkan undangan untuk mengisi booktalk atau menjadi juri lomba menulis. Mungkin ada momen-momen di mana dia dituntut untuk memberi sebait dua bait motivasi juga.
Tapi kemudian kuketuk kepalaku untuk menyadarkan diri dari hal yang tidak perlu. Harusnya aku tidak perlu berpikir aneh macam itu karena kata-kata Amara tadi terdengar sungguh-sungguh dan tulus.
Sepulang dari makam, aku dan Amara menghabiskan waktu di kamar untuk bicara. Semacam hal yang biasa kami lakukan dulu saat menginap di rumah masing-masing. Ditemani semangkuk mi instan penuh potongan cabai yang ditambah dua butir telur dan sosis, Amara berbusa-busa dengan semangat, memberi gambaran tentang bagaimana jika penulis profesional adalah pekerjaan penuh waktu. Terdengar menyenangkan, tentu saja. Setiap hari menuangkan ide atau khayalan ke dalam tulisan, senewen sedikit karena menemui kebuntuan, lalu bisa melihat bukumu terpajang di rak toko buku. Bonusnya, bisa dapat surat penggemar yang kadang-kadang bilang, “ceritamu sangat menginspirasi”. Manis sekali.
“Nggak enaknya sih, kalau sudah di-spam Hendra,” tukas Amara sambil terbahak setelah menelan potongan sosis terakhir.
Saat mangkuk mi sudah bersih, Amara memberiku tawaran menarik yang susah kutolak jika memang aku benar-benar masih ingin menjadi penulis. Dia berkata akan mengenalkanku pada editornya.
“Serius?” tanyaku tak percaya.
“Ya, Jul. Dua rius.” Dia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Ini anak masih saja pakai guyonan jaman SMA.
Aku tanpa ragu mengiyakan walau sebenarnya sedikit sangsi dan khawatir, karena ini berarti aku semacam akan jadi penulis jalur ‘orang dalam’. Saat kuutarakan pikiranku, Amara hanya tertawa riang sambil berkata,“Ini sebenarnya nggak ada bedanya dengan kamu submit naskah lewat pos atau email, Jul. Tetap ngantri dan melalui proses seleksi. Tapi enaknya kalau kamu kenal sama editor, bisa minta feedback dengan lebih detail karena sudah kenal orangnya.”
Aku manggut-manggut. Selepas makan mi instan dan berbicara sedikit, Amara langsung mendengkur dengan pulas. Sementara perutku dikocok gelisah dan mataku terbuka lebar, meski badan sebenarnya remuk dan ingin tidur.
***
Kami bersiap pagi itu untuk pergi kantor penerbit di mana buku Amara diterbitkan. Setelah tiga puluh menit menyetir, kami memasuki halaman area perkantoran. Halamannya tidak terlalu besar, tapi cukup rindang karena banyak pohon-pohon yang tumbuh di sekitar. Dan ternyata kantor penerbit Kawan Pustaka bukan satu-satunya kantor di sini, ada beberapa kantor lain yang terletak bersebelahan.
Begitu kami masuk, resepsionis langsung mengenali muka Amara walau sedang tertutup masker.
“Ibu Amara, selamat pagi.”
Amara mengangguk dan membalasnya dengan senyum. Kami lalu masuk ke dalam ruangan yang dibilang Amara sebagai ruang Pak Hendra. Di dalamnya ada komputer dengan layar besar di atas meja, beberapa buku di rak, termasuk buku Amara. Juga foto-foto orang yang kutaksir adalah Pak Hendra bersama beberapa penulis terkenal.
“Foto kamu mana?” tanyaku usil sembari menunjuk pigura-pigura di dinding.
Amara menepis tanganku. “Kalau bukuku udah selaris Harry Potter, nanti baru Hendra mau foto sama aku.”
Amara lalu duduk di sofa yang tersedia. Sedangkan aku masih mengagumi beberapa pajangan yang tertata di setiap sudut-sudut ruangan. Saat aku sedang asyik membaca plakat-plakat di rak, seorang pria berambut licin mengenakan kaos polo dan celana chino tergopoh-gopoh masuk ruangan sambil menggerutu.
“Udah dibilang hari ini deadline masih minta perpanjangan waktu.” Dia menutup pintu dengan agak keras.
“Siapa, Hen?” tanya Amara. Dia meletakkan majalah yang tadi dibuka-bukanya di atas meja. Aku menebak ini topik yang sudah sangat sering dibicarakan mereka berdua.
“Boni,” dengus Hendra. Ada nada kesal dalam suaranya. “Aku sudah bilang ilustrasinya sudah harus revisi, tapi dia menghilang beberapa hari.”