Chapter 20
Setelah lima hari menginap di rumah Amara, aku memutuskan pulang. Bukan hanya karena sekolah akan segera masuk, namun juga karena aku harus mulai menulis naskahku. Waktu tiga bulan terdengar cukup untuk menulis, memang. Kalau seluruh kerangka tulisanmu sudah jadi dan plotnya sudah sempurna. Sementara punyaku? Amit-amit. Kumpulan tulisanku yang belum selesai banyak sekali dan aku belum memutuskan mau memilih yang mana.
“Salam untuk Mama dan Papa Juli,” ucap Tante Tin sambil menyerahkan tas berisi jenang salak dan kopi biji salak.
“Wah, terima kasih, Tante.” Kuterima oleh-olehnya dengan senang hati.
“Kabari kalau sudah sampai rumah, Jul,” tukas Amara saat mesin mobil mulai kunyalakan.
Aku mengacungkan jempol. “Kalau nggak ketangkap petugas dispendukcapil ya.”
Kami tertawa. Aku menginjak rem, menghamburkan debu jalanan ke udara.
***
Papa sedang membetulkan mesin cuci salah satu pelanggan di teras rumah saat aku baru saja sampai di rumah. Sejak di-PHK beberapa tahun yang lalu dan gagal melamar pekerjaan di berbagai tempat, papa memutuskan membuka usaha reparasi alat-alat elektronik sendiri di rumah. Perusahaan-perusahaan berpendapat, fisik papa sudah tidak lagi mumpuni untuk menjadi karyawan produksi, sedangkan hanya itulah satu-satunya pengalaman yang papa miliki.
Praktis, penampakan rumah selama ini sudah seperti setengah bengkel seperti saat ini. Ada kulkas, mesin cuci, radio, TV cembung jadul, yang semuanya milik orang, menunggu untuk diperbaiki.
“Eh sudah pulang, Jul. Kamu bisa ketemu Amara?” tanya papa begitu kucium tangannya yang penuh bekas oli kotor.
“Iya, Pa,” jawabku.
“Wow,” kata papa setengah terkejut. “Gimana bisa ketemu rumah Amara?”
“Eh, panjang ceritanya. Nanti aja pas makan malam,” balasku. “ Oh iya, ada salam dari Tante Tin.”
“Oh, senang mendengarnya. Pak Santoso gimana? Sehat?”
Aku tertegun sejenak, baru ingat kalau papa belum tahu. “Om Santoso… sudah meninggal.”
Papa berhenti memainkan obeng dan menarik napas dalam. “Innalillahi,” desahnya. Diusapnya wajah, lalu mulutnya berkomat-kamit membaca doa.
“Lalu itu apa?” Papa menunjuk tas yang kutenteng selepas berdoa.
“Kopi dan jenang dari Tante Tin.”
Begitu aku masuk rumah, wangi daging yang ditumis bercampur cabai hijau memenuhi rumah dan menusuk hidungku.
“Ini apa, Ma?” Aku mencium tangan mama, dan menjumput suwiran daging di wajan.
“Cuci tangan dulu!”
Namun suwiran daging bercampur cabai hijau sudah terlanjur masuk mulut.