Menulis itu tak ubahnya seperti main piano, atau memasak, atau menyanyi. Kesamaan dari semua kegiatan itu, mereka adalah skill. Dan skill itu harus diasah secara teratur. Orang yang jago menyanyi namun lama tak berlatih, pasti harus membiasakan diri lagi karena otot suaranya jarang dipakai. Orang yang jago memasak namun lama tidak melakukannya, akan butuh waktu untuk membiasakan lagi dengan teknik-teknik memasak yang benar.
Menurut penelitian, Anders Ericsson dari Florida State University mengatakan bahwa seseorang perlu menghabiskan waktu sepuluh ribu jam untuk menjadi seorang ahli. Jika seseorang berlatih sebuah skill selama dua jam per hari, maka dia akan membutuhkan tiga belas sampai empat belas tahun untuk menguasai hal tersebut.
Aku yang seminggu belum tentu menulis, dan kalaupun bisa menulis hanya bisa menghabiskan waktu satu sampai dua jam, tak ubahnya seperti penyanyi yang sudah lama tidak menyanyi. Ditambah, aku belum pernah mencapai waktu sepuluh ribu jam. Jadi ketidakberuntunganku bisa disebut berlipat ganda: belum bisa disebut menjadi ahli dan belum pernah mengasah skill secara rutin.
Tapi dengan komporan Amara dan tekanan Hendra kemarin, akhirnya aku hanya bisa memaksa diriku. Seringnya, keadaan kepepet itu bisa memaksa orang yang tadinya tidak bisa menjadi bisa, walaupun harus ngos-ngosan. Seperti yang kulakukan saat ini. Berusaha mengetikkan sesuatu namun tak mampu. Mengamati kursor yang berkedip-kedip dengan hampa. Ide dari tadi ada di otak dan kerangka karangan yang sudah setengah jadi. Tapi entah, susah sekali menuangkannya dalam tulisan. Bahkan ketika aku sudah beberapa kali membuka buku-buku bacaan untuk melakukan pemanasan dan mencari referensi kosakata.
Dua halaman cerita yang baru saja kutulis membuatku frustasi. Ada plot yang kosong dan harus dilengkapi di tengah-tengah karena kelalaianku menyusun kronologi dalam cerita. Tombol strikethrough text di Google Doc membubuhkan garis dengan kejam pada tujuh paragraf panjang di tulisanku. Aku lebih kesal karena aku yang memutuskan untuk mencoretnya. Kenapa? Karena itu berarti paragraf yang kutulis sangat buruk.
Dosen menulisku dulu memberikan nasihat yang terkesan sepele tapi penting. Kata beliau, jika kamu membuat kesalahan dalam tulisanmu, jangan diperbaiki di file yang sama. Buat file baru, dan menulis dari awal. Hal ini masuk akal karena menyisipkan sesuatu di tengah-tengah paragraf itu membuat masalah makin runyam. Paragraf itu jatuhnya bisa makin ruwet untuk dibaca karena berpotensi mengandung kalimat-kalimat yang seharusnya tidak di situ.
Jadi itulah yang kulakukan sekarang. Membuat file baru. Tapi masih belum ada kemajuan.
Merasa bersalah sudah sepuluh menit melamun, kuambil HP dan mulai mengetikkan pesan pada Amara. Siapa tahu dia bisa mengirim wangsit.
Mara. Kamu udah tidur belum?
Hoi. Belum. Ada apa?
Lagi butuh inspirasi nih buat nulis.
Ooh, relate banget, Jul. Stucknya di mana?
Amara adalah seorang penulis, praktis kalau dia langsung bisa paham maksudku.
Kuketik kembali balasan.
Aku lagi bikin cerita tentang cewek yang suka sama sahabat cowoknya. Tapi lalu saat dia berusaha menyatakan cinta, si cowok merasa ilfeel dan menjauh, membuat persahabatan mereka runyam. Aku kesulitan mikirin adegan-adegan konflik yang membuat si cowok menjauh.
Balasan Amara muncul dengan cepat.
Jul, kalau ada hal yang bikin aku belajar tentang kepenulisan, kamu itu harus ciptain karakter yang kuat dulu. Nanti ceritanya bakal mengalir sendiri.
Membaca balasan Amara yang singkat dan padat, seperti ada yang tiba-tiba menyalakan lampu dalam otakku. Kuketikkan balasan.
Kalau gitu, aku minta izin bikin karakternya terinspirasi kamu sama Bang Yanto ya.
Ping! Amara membalas.
Bzzzz. Asal jangan lupa dimasukin acknowledgement aja ya.
Yes.
Thank youuuuuuuuuuu.
Mau sebagus apapun bikin schedule rutinitas harian, kalau kita sedang capek atau menemui jalan buntu, biasanya tidak akan terlaksana. Tapi hal itu juga berlaku sebaliknya. Walaupun sudah terpampang jelas di dinding kalau rencana menulis sampai jam dua belas, kalau sedang banyak inspirasi, ya kebut saja. Ide nggak bisa nunggu ditulis besoknya, keburu lupa.
Percakapan singkat dengan Amara lewat WhatsApp barusan seakan menyiram kepalaku dengan air dingin. Sembari membayangkan interaksi-interaksi Amara dengan Bang Yanto, jemariku beradu cepat di atas keyboard. Ditemani sebotol air dan keripik pedas, aku sudah macam petualang yang mencari kitab suci dengan segala amunisinya.
Jam besar di ruang tamu berdentang tiga kali. Aku pura-pura tidak mendengar. Sudah kepalang tanggung kalau mau tidur jam segini. Lagipula, jam empat aku harus mengantar sayur Bos Yanto. Lebih baik kulanjutkan menulis, daripada aku ketiduran dan malah bolos dua pekerjaan, kan?