Catch You Later!

Indah F. Wahyuni
Chapter #23

A Clean, Well-Lighted Place


Kututup pintu begitu masuk. Sepertinya cukup keras karena Mama dan Papa terdengar kaget. Papa yang sibuk membenarkan karet di pintu kulkas berhenti.

“Ada apa, Juli?”

Aku tidak menjawab. Papa dan Mama tidak repot-repot bertanya. Mereka sudah hafal jika anaknya tidak menjawab, itu karena memang anaknya lebih diam. Karena kalau sudah bersuara, mendadak macan lapar terdengar lebih jinak. Orang bilang, orang pendiam lebih menyeramkan marahnya kalau mereka sudah mereka benar-benar marah.

Lima hari sejak pertemuan dengan Bu Rosa di toko Bang Yanto, keluar dari rumah tidak memberikan pengalaman menyenangkan buatku. Saat aku beli sate ayam di abang-abang keliling, beberapa ibu-ibu yang berkumpul di depan warung melirik sekilas. Saat shampo habis dan Arga menolak untuk membelikan di warung, aku harus sekali lagi menjawab pertanyaan kepo dari pemilik warung tentang pekerjaan. Ditambah bonus, pertanyaan kapan nikah. Sepertinya gosip sudah ditaburi ragi instan. Cepat amat berkembang.


***


“Ada masalah, Juli?” tanya Mama saat melihatku mengaduk mi goreng di dalam piring saat sarapan.

Aku menggeleng, walau pikiranku penuh dengan gambaran mulut Bu Rosa yang berbusa-busa mengarang cerita bebas tentang diriku, lalu mengadakan acara mendongeng bersama. Perlahan kusuapkan mi ke mulut.

“Juli kalau banyak pikiran begitu, nggak akan mau jawab,” timpal Papa sambil menyendok acar.

“Yah kalau nggak ada masalah ya syukur. Kalau ada, dan Juli mau cerita, ya nggak papa.” Mama melanjutkan sambil setengah mengunyah telur dadar.

“Bu Rosa itu ember ya, Ma!” Akhirnya aku tak tahan mengeluarkan uneg-unegku sambil setengah berteriak.

Arga terbahak. “Ada masalah apa sama Bu Rosa, Kak?”

Akhirnya aku menceritakan pertemuan dengan Bu Rosa di toko Bang Yanto, dengan segala pertanyaan dan mimik yang membuatku merasa tidak nyaman.

“Nggak usah didengarkan,” kata Papa kalem, meneguk air putih.

“Iya, Juli. Mama sama Papa nggak pernah mikirin omongan orang. Kami juga lebih suka di rumah, kan. Daripada di luar, sibuk menggosip,” tambah Mama.

“Mungkin kamu coba cari suasana baru. Menulis di luar rumah sana, biar nggak suntuk. Kalau di rumah terus, bisa tertular energi negatif,” usul Papa.

“Betul kata Papa. Biar kamu nggak sumpek di kamar terus kalau nulis.”

“Aku nggak sumpek di kamarku, yang bikin sumpek itu kalau Arga muter lagu keras-keras,” sindirku. Yang disindir menjulurkan lidah.


Lepas makan aku kembali ke kamar. Kubuka laptop untuk melanjutkan tulisan. Namun karena terlalu terganggu dengan omongan Bu Rosa beberapa hari yang lalu, aku jadi bad mood. Memang untuk urusan manajemen emosi ini aku masih perlu latihan lagi. Semedi empat puluh hari, kalau perlu. Kesal, kurebahkan badan di kasur, meraih ponsel dan mulai membuka Google.

Informasi yang diberikan oleh algoritma sosial media memang luar biasa. Like the phone listens to you, really. Sekali waktu aku berbincang-bincang dengan Mama untuk membeli sepatu baru, menit berikutnya iklan sepatu berseliweran di seluruh media sosial dan marketplace dalam ponselku. Lain waktu aku mengetikkan resep cirawang di Google. Detik berikutnya feed Instagram-ku dipenuhi dengan resep cirawang dari berbagai akun foodie. Bahkan kadang-kadang, iklan Youtube sampai menampilkan hal yang sama.

Dan ini berlaku untuk semua hal. Seperti saat ini, sekali aku mengetikkan ‘mencari ide untuk menulis’ di Google, detik berikutnya Instagram menghujaniku dengan reels berisi ‘tips-tips menulis’, ‘hal yang perlu dilakukan saat stres’, ‘kelas-kelas menulis online’, hingga judul reels yang paling tidak relevan: ‘spot lokal untuk bekerja remote’.

Awalnya aku berpikir hal ini tidak relevan. Tapi kalau dipikir-pikir, seiring dengan meningkatnya populasi dan kesempatan bekerja dari mana saja atau working from anywhere, banyak juga tempat-tempat menjamur yang menyediakan fasilitas untuk bekerja. Jadi, mungkin sebenarnya reels tadi memang ditujukan untukku. Secara logika, salah satu pekerjaan yang kukerjakan sekarang adalah menulis. Dan walaupun aku bisa mengerjakannya di rumah, ada pilihan lain aku bisa mengerjakannya di mana saja. Oh dan satu lagi, tadi Mama dan Papa dengan gamblangnya menyuruh, “Mungkin kamu coba cari suasana baru. Menulis di luar rumah sana, biar nggak suntuk.”

See, the phone listens to you.

Kutonton video berdurasi tiga puluh detik tersebut. Ada beberapa tempat yang direkomendasikan akun yang mem-posting reels itu, mulai perpustakaan desa yang aku tahu tidak banyak koleksi bukunya, hingga kafe di sebelah hutan kota.

Lihat selengkapnya