Jul, ini link Zoomnya.
Pesan Amara masuk begitu aku sampai di Roast and Toast sore menjelang malam ini. Dengan cepat kuketik balasan.
Bentar, Mara. Aku masih pesan.
Aku menuju konter. Seorang barista berambut cepak menemuiku lagi. Alih-alih mengutarakan pesanan, mukaku celingukan ke arah tirai pembatas dapur dan konter pemesanan.
“Kak? Mau pesan apa?”
“Eh..” Aku tergagap-gagap. Sebenarnya aku mau memberikan kekurangan uang yang kemarin. Kalau aku memberikan pada barista yang ini, nanti dikira belum bayar hutang.
“Mas Galihnya ada?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Mendadak aku sadar, aku mungkin terdengar genit, macam cewek-cewek yang ingin pdkt duluan.
Muka barista berambut cepak itu terlihat mencoba terlihat profesional. Dia tersenyum tapi kentara sekali juga menahan tawa. Dari responnya, aku merasa aku bukan satu-satunya perempuan yang melakukan ini pertama kali.
“Sebentar, saya panggilkan.” Dia lalu masuk begitu saja menuju dapur.
Beberapa saat kemudian, orang yang dimaksud keluar. Dia masih mengenakan celemek, yang kali ini terlihat sedikit kotor oleh tepung. Entah kenapa rambutnya lebih berkilau hari ini, membuat otakku otomatis memberikan julukan untuknya: ashen fox. Pertama karena rambutnya ada aksen keabu-abuan. Kedua, well, he IS a fox.
“Oh, Kakak yang kemarin?” Dipamerkannya dua lesung pipit dan deretan gigi yang putih.
“Eh, ini, Mas Galih. Saya mau bayar hutang kemarin.” Kusodorkan selembar dua puluh ribu. Rasanya aku ingin cepat-cepat menyingkir. Sepertinya kalau terlalu lama berdiri di depannya, kakiku bisa mleyot.
“Ah, tidak perlu buru-buru, Kak. Tapi terima kasih,” ucapnya sambil menerima uang.
“I–iya. Sama-sama.”
Aku sebenarnya belum selesai berbicara. Tapi entah kenapa jika saat ini aku memesan sesuatu, seperti memberi kesan bahwa aku ingin menahannya lama-lama.
“Ada lagi yang bisa dibantu, Kak?” tawarnya.
Phew. Aku menghela napas. Setidaknya kali ini dia yang memberi tawaran.
“Iya. Saya mau pesan. Iced Americano.”
“Baik. Totalnya dua puluh ribu. Nanti pesanan saya antar ya, Kak.” Dia tersenyum lagi.
Aku mundur dan beranjak menuju ‘spot pribadiku’. Kukeluarkan laptop dan membuka aplikasi Zoom.
Semalam, Amara memberikanku ide untuk melakukan hal yang menurutku cukup aneh: menulis bersama. Katanya, ini kegiatan yang sudah biasa ia lakukan bersama teman-teman penulisnya saat mereka menemui jalan buntu, atau tidak ada motivasi untuk menulis. Konsep dari kegiatan ini adalah diam dalam Zoom dan menulis tulisan masing-masing. Dia menawarkan ini karena dia sendiri sedang dikejar deadline. Aneh tidak? Iya menurutku aneh. Tapi tidak ada salahnya dicoba.
Kupasang earphones. Suara notifikasi Zoom berbunyi begitu Amara memasuki room.
“Lama amat!” protesnya begitu melihat mukaku.
“Sabar. Aku kan harus set up dulu,” jelasku. Sambil melihat Amara yang merengut, aku melaksanakan ritual: membersihkan tetikus, menancapkan charger laptop, menggeser vas bunga di atas meja, menaruh ransel di sebelah kaki. Sesekali menggeser posisi duduk senyaman mungkin.
“Oke, jadi konsep kegiatan ini…” Amara mulai menjelaskan saat tiba-tiba Galih mendatangi mejaku dan menaruh pesanan.
“Silahkan menikmati, Kak,” katanya. Tak lupa dengan senyum. Sesaat aku terperangah.
“Woi! Jangan meleng, Jul. Kenapa muka kamu merah?”
Cepat-cepat aku memandang Amara.
“Sori tadi pesananku dateng. Terus pa–panas di luar,” jawabku bohong. Mengabaikan fakta bahwa barista di depanku adalah penyebab utama mukaku merah.
“Oke. Aku ulang ya. Jadi konsep kegiatan ini ya sesederhana kita nulis bareng. Nanti di awal, kita bilang apa target kita hari ini. Terus kita nulis, satu atau dua jam. Di akhir, kita saling laporan sudah kerjain apa saja tadi, tercapai tidak targetnya. Gitu Jul.”
Mulutku membundar. “Oke. Jadi kita bikin target dulu ya. Baik. Targetku hari ini nulis bab lima belas. Kamu?”
“Aku mau nulis bab sebelas,” kata Amara meringis.
Menit-menit berikutnya kami mulai menulis. Di sekelilingku, yang terdengar hanya suara musik Kenny G. Amara dan aku mematikan microphone untuk meredam suara keyboard yang beradu.
Entah berapa jam berlalu. Ternyata, mengadakan Zoom meeting bersama Amara membuatku lebih produktif hingga lupa waktu. Aku mulai merasakan fungsi kegiatan ini. Tadi aku cek Google sebentar. Secara psikologis, orang cenderung tampil lebih baik saat diperhatikan orang lain, sehingga memacu motivasi dan produktivitas masing-masing. Kemudian sesekali, kami bisa berdiskusi dan saling memberi ide pada tulisan masing-masing karena bekerja bersama dapat membagi beban kognitif. Ah, ingin kupeluk rasanya penemu kegiatan yang awalnya kuanggap aneh ini.
“Jul, udah dua jam.”
Tiba-tiba Amara mengagetkanku. Menyadarkanku dari pembuatan adegan berseteru antara dua tokoh utama.
“Eh, udah dua jam? Nggak kerasa.”
“Iya, aku selalu set timer kalau lagi nulis. Jadi gimana, tadi dapat apa aja nulisnya?” tanya Amara.
“Hmm. Aku selesai nulis bab lima belas, dan setengah bab enam belas.”