Catch You Later!

Indah F. Wahyuni
Chapter #25

What I Think about When I Think about Writing


Kuseruput iced americano lewat sedotan sampai hampir habis. Aku sedang tidak bisa mengartikan emosi muka laki-laki berambut hitam setengah abu-abu di depanku ini. Dari tadi raut mukanya sama, walau sudah menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit membaca tulisanku: alis datar, kening yang mulus tak berkerut, bibir datar, tidak ada senyum, tawa, atau cemberut.

Setelah kemarin memberitahu bahwa aku sedang berusaha menjadi penulis, Galih langsung bilang ingin membaca ceritaku. Walau sedikit malu, akhirnya aku mau menunjukkan tulisanku yang hampir selesai padanya hari ini saat mampir ke Roast and Toast. Tapi lihatlah, si ashen fox ini sekarang bergeming, tanpa ekspresi. Satu-satunya yang bergerak hanya sesekali matanya berpindah dari kiri ke kanan memeriksa huruf ke huruf, kalimat ke kalimat.

Iced americano di gelas sudah habis dan belum ada respon. Aku sudah kehabisan barang untuk pelampiasan fidgeting. Minumanku tandas dan HPku low-batt. Tidak ada sesuatu yang bisa diremas-remas untuk menyalurkan kepanikan. Kuarahkan kepanikan dengan menatap langit-langit dan sekitar. Nampaknya Galih ada bakat bikin orang nervous. Memang sih, jangankan membaca tulisanku. Dia diam saja sudah cukup bikin aku nervous.

Sesaat kemudian, Galih menjauhkan jarak mukanya dari layar komputer. Pertanda sudah selesai membaca. Aku seketika menegakkan diri.

“Well?” Aku bertanya takut-takut. Aku sejujurnya tidak pernah menerima umpan balik untuk tulisanku dengan serius. Palingan dulu dari Bu Maria, saat ikut di klub jurnalistik. Tapi umpan balik dari beliau biasanya sebatas aturan kepenulisan. Yang bilang suka dengan tulisanku mungkin dulu anak-anak di sekolah. Tapi ya itu dulu. Sekian tahun berlalu, pasti ada perbedaan antara tulisanku dulu dan sekarang.

Galih tidak menanggapi pertanyaanku. Perhatiannya tiba-tiba teralihkan ke gelas iced americano yang sudah tidak ada isinya. 

“Lho, cepat amat habisnya? Biasanya kamu minumnya pelan-pelan,” tukasnya sambil tertawa ringan.

Enak saja dia bilang begitu, nggak tahu badanku sudah panas dingin menunggu dia selesai baca tulisanku. Dan sekarang lebih dag dig dug lagi, sejujurnya aku belum siap untuk mendengar ceritaku dikomentari.

“Jadi?” Aku bertanya lagi, menuntut kesan pesan dari pembaca pertamaku.

“Juli, ini bagus sekali. Alurnya rapi, pemilihan diksinya betul-betul pas dan menarik. Majas yang digunakan tidak berlebihan. Penggambaran karakternya juga kuat. Walaupun belum selesai, tapi sejauh ini, cerita kamu lebih bagus dari cerita mana pun yang pernah saya baca!”

Aku melotot, meninju lengannya dengan spontan karena salah tingkah mendengar pujian berlebihan itu. Tapi kemudian aku sadar dan buru-buru minta maaf.

“Ups, sori!”

Dia hanya terbahak. “Kok tiba-tiba saya ditinju, sih?”

“Habisnya kamu bilang cerita saya lebih bagus dari cerita mana pun. Itu kan membual sekali!” protesku.

“Lho, saya nggak bohong. Ini cerita paling bagus yang pernah saya baca,” kilahnya.

“Tapi kan banyak cerita yang lebih bagus,” sambarku.

“Ya berarti saya belum pernah baca cerita yang kamu maksud.”

Aku manyun.

“Lah, kok cemberut?” Galih kali ini menahan tawanya.

“Jadi kamu memuji atau menghina, sih?” ucapku gemas.

“Lho saya memuji, Juli. Ini ibaratnya bilang, tentu banyak perempuan yang lebih cantik di dunia ini dari kamu, seperti Jisoo Blackpink, misalnya. Tapi, dari semua perempuan yang pernah saya temui, kamu yang paling cantik.”

Seketika mukaku memerah.

“Kan saya nggak pernah ketemu Jisoo,” lanjutnya lagi.

Lihat selengkapnya