Aku sudah masuk ke ruang Zoom tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata dosen yang selalu kuingat dulu adalah, ‘in time is on time, on time is late’. Jadi aku selalu berusaha untuk datang jauh lebih awal sebelum sebuah pertemuan apapun. Selain menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti macet atau dalam konteks kali ini, internet bermasalah, aku juga bisa menenangkan dan menyiapkan diri terlebih dahulu.
Hendra menghubungiku kemarin dan mengajukan jadwal pertemuan untuk hari ini, setelah dia membaca naskahku selama dua minggu. Jadilah aku pergi Roast and Toast untuk melaksanakan Zoom meeting di sana. Pertama, karena aku sudah merasa nyaman dengan atmosfer di sana, jadi aku merasa akan bisa rileks selama meeting. Kedua, koneksi internetnya lebih bagus, sehingga meminimalisir gangguan jaringan. Ketiga…
Terlihat dari konter, Galih melambai padaku. Jempolnya teracung ke atas, memberi semangat. Dia sudah tahu aku akan melakukan meeting dengan Hendra hari ini. Iya, aku nggak munafik kalau lelaki berambut hitam dan abu-abu itu adalah alasan ketiga.
Notifikasi Zoom tiba-tiba berbunyi. Ternyata Hendra sudah memasuki ruangan. Aku tak sempat membalas lambaian Galih.
“Hai, Juli!” sapanya riang. Tidak tahu yang diajak bicara ini mulai berkeringat dingin di seluruh badan.
“Hai, Hendra,” sapaku gugup.
“Gimana kabar?”
“Baik, baik.”
“Ok, thank you Juli sudah hadir. Jadi agenda meeting kita kali ini adalah membahas sedikit umpan balik dan keputusan penerbit Kawan Pustaka untuk naskah kemarin, ya.” Dia mengatakan itu tanpa banyak basa-basi.
Sekuat tenaga kupusatkan perhatian pada Hendra dan berusaha fokus pada kata-kata yang akan dia ucapkan barusan. Jujur saja, saat dia bilang akan memberi keputusan hari ini, aku sedikit terkejut. Biasanya setahuku penerbit akan memberikan informasi keputusan lewat email. Namun mungkin memang cara kerja tiap penerbit berbeda.
“Oke Juli, let’s get to the point. Setelah aku baca cerita kamu kemarin, sejujurnya aku akan bilang kalau naskah kamu itu tidak marketable dan belum sesuai dengan standar kita.”
DUAR. Seperti ada yang menghantam dadaku. Entah kenapa rasanya lebih sakit daripada saat aku baru siuman dari pingsan setelah kecelakaan beberapa waktu yang lalu.
Fokus, Juli. Fokus.
Salah satu teknik komunikasi yang cukup sering kulakukan, terutama pada murid-muridku, adalah sandwich feedback. Teknik ini kugunakan untuk memberikan masukan tanpa menimbulkan konflik sekaligus meminimalisir ketegangan. Dalam pengalamanku, cara ini cukup terbukti membuat lawan bicara lebih menyerap informasi yang kuberikan. Cara kerjanya adalah kita memulai dengan memberitahu sisi positif yang dilakukan lawan bicara, memberikan kritik yang konstruktif, dan mengakhiri dengan sisi positif lagi.
But Hendra didn’t even hesitate.
Kata-kata Hendra yang selanjutnya mengalir lebih terdengar mirip dengungan untukku karena emosi yang sudah campur aduk, tapi aku berusaha keras untuk tetap mendengarkan.
“Jadi mungkin aku akan kasih gambaran sedikit kenapa naskah kamu nggak marketable. Pertama, yang aku amati dari naskahmu adalah konfliknya kurang menarik. Penyelesaian konflik sering dilakukan dengan bercakap-cakap, which can be boring. Sehingga itu mempengaruhi klimaks yang akhirnya tidak memuaskan. Sehingga secara keseluruhan, cerita yang kamu bikin belum bisa membuat pembacanya merasakan sesuatu yang emosional, dan itu penting.”
Aku masih berusaha mendengarkan. Kutahan air mataku untuk tidak menetes. Jujur aku belum pernah mendapatkan umpan balik segamblang dan sejujur ini.
Hendra mulai bicara lagi. “Biasanya saat menerima naskah, memang naskah tersebut tidak serta merta kami terbitkan begitu saja. Pasti ada proses editing untuk membuat naskah tersebut lebih diterima pembaca. Tapi naskah yang kamu buat ini tidak bisa diselamatkan dari proses editing karena dari ide dasarnya saja sudah nggak menarik."
“So sorry to say, we cannot publish your manuscript," pungkasnya.
Aku mengumpulkan kekuatan untuk menanggapi penjelasan panjang lebar Hendra.
“Terima kasih untuk umpan baliknya, Hen. Aku memang masih perlu banyak belajar.”
“Yes. Jangan sampai penolakan sekali bikin patah semangat ya. Karena sebetulnya kamu ada potensi. Hanya memang masih perlu belajar,” balas Hendra. “Ada pertanyaan, Jul?”