Aku baru saja memasuki kamar setelah dari menjemput Amara dari stasiun saat HPku berdenting. Ada pesan dari Galih.
Hai Juli.
Semoga kabar kamu baik-baik saja.
Maaf saya mengirim pesan ini tiba-tiba. Saya ingin mengajak kamu untuk pergi ke toko buku dan makan sushi besok siang untuk merayakan selesainya project kamu. Nanti kita juga bisa mampir ke bakery. Apakah kamu bisa dan berkenan?
Tanpa sadar, bibirku menyungging senyum saat membaca pesan yang terdengar seperti undangan resmi ini.
Amara yang baru saja masuk ke dalam kamarku sambil mendorong kopernya, menangkap mukaku yang kemerahan sembari tersenyum simpul.
“Hayo! Lagi baca apa kamu!”
Buru-buru kusimpan kembali HP ke dalam kantong jaket.
Amara mengusap dahinya yang berkeringat. Lalu berkacak pinggang. “Heh, Jul. Ini aku sebenarnya udah perhatiin dari lama tapi aku diem-diem aja. Selama kita nulis bareng lewat Zoom, kadang-kadang kamu senyum-senyum terus, Jul. Awalnya aku pikir, kamu cuma senyum biasa ke barista atau orang asing di kafe yang biasa kamu datengin. Tapi aku yakin bukan. Soalnya senyummu itu udah kayak pas aku senyum lihat Bang Yanto aja. Aku yakin orang yang ngirim pesan ke kamu barusan itu orang yang sama dengan yang bikin kamu senyum di kafe!” tebak Amara tanpa basa-basi.
“Apa sih.” Aku berkelit menyembunyikan muka. “Sana mandi. Bajumu bau AC kereta. Baru juga datang udah ngomelin empunya rumah, ish!” kilahku.
“Huuuu. Awas ya main rahasia-rahasiaan. Nanti juga ketahuan, liat aja pasti aku selidiki!” ancamnya.
Amara kemudian berlalu menuju kamar mandi membawa handuk yang sudah kusiapkan untuknya. Setelah yakin dia sudah menghilang, kuambil HP lagi dan dengan cepat kuketikkan balasan untuk Galih.
Sebenarnya saya bisa dan sangat berkenan, tapi sayangnya besok sudah ada janji dengan Amara. Dia sedang ke rumah dan akan menginap beberapa hari.