Gemuruh penonton di arena sementara itu tidak membuat darahnya membara.
Tidak membuat dia gemetar, gusar, atau berganti-ganti tumpuan kaki karena gugup. Tidak, Selina Kyle hanya memutar kedua bahunya—sekali, dua kali.
Dan menunggu.
Gegap gempita yang merembet di sepanjang lorong kumuh dan masuk ke dalam ruang persiapan itu hanya sedikit lebih keras dari gelegar guntur di kejauhan. Badai, seperti badai yang melanda East End sewaktu dia berjalan kaki dari kompleks apartemen. Dia sudah basah kuyup sebelum sampai di pintu masuk stasiun kereta bawah tanah tersembunyi yang membawanya ke liang pertarungan bawah tanah milik Carmine Falcone, sosok terbaru di antara bos-bos mafia Gotham City yang selalu silih berganti.
Tapi, seperti badai lainnya, pertarungan ini pun pasti bisa dilaluinya.
Air hujan belum benar-benar mengering di rambut panjangnya yang gelap, Selina memastikan rambutnya sudah digelung ketat di puncak kepalanya. Dia pernah satu kali membuat kesalahan dengan mengikat rambutnya gaya ekor kuda—dalam pertarungan jalanannya yang kedua. Gadis lawannya berhasil mencengkeram rambutnya, dan detik-detik ketika leher Selina terekspos rasanya berlangsung lebih lama dari apa pun dalam hidupnya.
Tetapi, dia menang—walaupun nyaris kalah. Dan dia telah belajar. Dia belajar dalam setiap pertarungan sejak saat itu, baik di jalanan di atas sana maupun di arena yang dibuat di dalam gorong-gorong di bawah Gotham City.
Tidak penting siapa lawannya malam ini. Semua penantangnya selalu dari jenis-jenis yang sama: orang-orang putus asa yang tak mampu membayar utang kepada Falcone. Orang-orang bodoh yang rela bertaruh nyawa demi kesempatan untuk terbebas dari utang mereka, dengan menghadapi salah satu Macan Tutul milik Falcone di atas ring.
Hadiahnya: tidak perlu lagi was-was oleh bayangan yang membuntuti. Harga kekalahan: babak belur—dan harus tetap membayar utang. Biasanya ditambah dengan jaminan memperoleh tiket sekali jalan ke dasar Sungai Sprang. Peluang menang: tipis bahkan tidak ada sama sekali.
Siapa pun manusia malang yang akan dilawannya malam ini, Selina berharap semoga Falcone mau memberi anggukan kepadanya lebih cepat dari kali terakhir. Pertarungan itu …. Falcone sengaja membiarkan Selina melanjutkan pertarungan brutal itu terus-menerus. Penonton benar-benar kesetanan, siap menghamburkan uang untuk membeli alkohol murah dan semua yang dijual di liang bawah tanah itu. Selina pulang dengan memar-memar lebih banyak dari biasanya, dan lawan yang telah dihajarnya sampai tak sadarkan diri ….
Bukan urusannya, berkali-kali Selina meyakinkan diri. Bahkan ketika dia melihat wajah bersimbah darah lawan-lawannya di dalam mimpi, baik ketika tidur maupun terjaga. Apa yang Falcone lakukan terhadap mereka seusai pertarungan bukanlah urusannya. Dia meninggalkan lawannya dalam kondisi masih bernapas. Setidaknya, dia sudah melakukan itu.
Dan setidaknya, Selina tidak cukup bodoh untuk melawan secara terang-terangan, seperti beberapa Macan Tutul lainnya. Mereka yang terlalu angkuh, atau terlalu bodoh, atau terlalu muda untuk memahami jalannya permainan ini. Tidak, pemberontakan-pemberontakan kecilnya kepada Carmine Falcone lebih halus. Falcone ingin orang-orang itu mati—Selina meninggalkan mereka tak sadarkan diri, namun dengan cara yang begitu mahir sehingga tidak seorang penonton pun keberatan.
Keadaan yang sulit dan penuh bahaya, apalagi nyawa adik perempuannya sedang di ujung tanduk. Jika dia terlalu sering melawan perintah, Falcone akan bertanya-tanya, mulai membayangkan siapa orang paling berarti bagi Selina. Sasaran yang bisa dihantamnya paling telak. Selina tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia tidak akan pernah membahayakan keselamatan Maggie seperti itu—walaupun semua pertarungan ini adalah demi Maggie. Semuanya.
Sudah tiga tahun Selina bergabung dengan Macan Tutul, dan hampir dua setengah tahun sejak dia berhasil membuktikan diri melawan geng-geng cewek lain sehingga Mika, Alpha-nya, memperkenalkan dia kepada Falcone. Selina tidak berani melewatkan pertemuan itu.
Jenjang pangkat di geng cewek sangat sederhana: Alpha dari setiap geng memimpin dan melindungi, menentukan hukuman dan hadiah. Perintah Alpha adalah hukum. Dan yang menegakkan perintah itu adalah para Orang Kedua dan Orang Ketiga mereka. Setelah itu, urutan pangkat menjadi kabur. Pertarungan dapat membuka jalan untuk naik pangkat—atau terpuruk, bergantung pada seberapa parah jalannya suatu pertandingan. Bahkan, seorang Alpha bisa ditantang jika kau cukup bodoh atau cukup berani untuk melakukannya.
Tetapi, Selina sama sekali tidak berniat menaikkan pangkatnya sewaktu Mika mendatangkan Falcone untuk menontonnya melawan Orang Kedua dari geng Kawanan Serigala, dan meninggalkan gadis lawannya mengucurkan darah di lantai gang.
Sebelum pertarungan itu, baru empat bintik macan tutul dirajah di lengan kiri Selina yang pucat, masing-masing adalah trofi kemenangannya.
Selina membetulkan tepian tanktop putihnya. Pada usia tujuh belas tahun, kedua lengannya kini dihiasi oleh 27 bintik tato.
Tak terkalahkan.
Itulah yang diumumkan oleh MC pertandingan di ujung lorong. Selina bisa mendengar sayup-sayup ucapannya: Juara tak terkalahkan, Macan Tutul paling ganas ….
Tangannya meraba satu-satunya benda yang boleh dibawanya ke dalam arena: cambuk sapi.
Beberapa Macan Tutul memilih riasan atau kostum khas agar identitas mereka mencolok di dalam ring. Selina tidak punya cukup banyak sisa uang untuk hal semacam itu—terlebih ketika satu kemasan lip gloss setara dengan harga seporsi kecil makanan. Tetapi, Mika tidak senang saat Selina datang ke pertarungan resmi pertamanya dalam balutan baju senam lama dan celana legging.
Kau ini seperti akan berlatih Jazzercise saja, kata Alpha-nya. Paling tidak, kau harus diberi cakar.
Semua jenis senjata kecil diperbolehkan di dalam ring, kecuali pisau dan pistol. Tetapi, tidak satu pun senjata tersedia malam itu. Tidak ada, selain cambuk sapi itu, tercampak di antara tumpukan alat-alat sewaktu tempat ini masih menggelar semacam sirkus alternatif.
Waktumu sepuluh menit untuk memikirkan cara memakainya, Mika memperingatkan Selina sebelum pergi meninggalkannya sendirian.
Selina belum tahu cara melecutkan cambuk itu ketika dia dipaksa masuk ke ring pertarungan. Pada pertarungan pertama tersebut, cambuk sapi itu justru menghambat alih-alih membantu, namun penonton menyukainya. Dan sebagian kecil diri-nya pun menyukainya, lecutan yang membelah dunia.
Maka, Selina belajar menggunakan senjatanya. Sampai cambuk itu menjadi perpanjangan tangannya, sampai cambuk itu memberinya keunggulan yang tidak dia peroleh dari tubuh ramping. Sandiwara yang ditimbulkan cambuk itu di ring pun sangat berguna.
Gebrakan di pintu logam itu adalah isyarat baginya untuk pergi.
Selina memeriksa cambuk di pinggulnya, celana spandex hitamnya, sepatu sneakers hijau yang sewarna dengan matanya—walaupun tidak seorang pun pernah mengomentari hal itu. Dia melenturkan jemarinya di balik sarung tangan. Semua siap.
Setidaknya, inilah persiapan terbaiknya.
Otot-ototnya lemas, tubuhnya lentur, berkat pemanasan senam yang dulu sering dia lakukan, dan yang telah dia sesuaikan untuk pertarungan-pertarungan ini. Selain adu fisik, cambuk, dan gerakan akrobatik yang digunakannya, demi tontonan maupun untuk melabrak keseimbangan lawan yang berbobot lebih berat, separuh pertempuran Selina adalah memastikan tubuhnya siap untuk menghadapi pertarungan-pertarungan ini.
Pintu berkarat itu mengerang saat Selina membukanya. Mika sedang mengurus gadis baru di ujung lorong sana, lampu-lampu neon yang berkedip-kedip menyurutkan cahaya yang biasanya terpancar dari kulit keemasan sang Alpha.
Mika menilik Selina seraya menoleh di atas bahu sempitnya, kepang rambut hitamnya ikut bergerak. Gadis kulit putih di hadapan Mika berhati-hati menyeka darah yang mengalir dari hidung bengkaknya. Sebelah mata anak kucing itu sudah sembap dan merah, sebelah lagi berkaca-kaca.
Tidak heran penonton sangat ingar-bingar. Jika satu Macan Tutul telah dihajar separah itu, pertarungannya pasti sangat seru. Cukup brutal sampai Mika harus memegangi lengan pucat gadis itu agar tubuhnya tidak oleng.
Di ujung lorong temaram yang mengarah ke arena, salah satu tukang pukul Falcone memanggil dengan isyarat. Selina menutup pintu di belakangnya. Dia tidak meninggalkan barang-barang berharga. Lagi pula, dia tak punya apa pun yang layak dicuri.
“Hati-hati,” kata Mika saat Selina melintas, suara gadis Asia itu rendah dan lembut. “Falcone menurunkan kelompok yang lebih parah dari biasanya malam ini.” Si anak kucing mendesis, kepalanya tersentak menjauh begitu Mika menepuk-nepuk bibir robeknya dengan tisu disinfektan. Mika menghardiknya, dan si anak kucing tahu diri untuk berhenti bergerak, agak gemetar selagi sang Alpha membersihkan lukanya. Mika menambahi tanpa menoleh, “Dia sengaja menyimpan yang paling hebat untukmu. Aku ikut prihatin.”
“Dia selalu begitu,” jawab Selina tenang, meskipun isi perutnya membuncah. “Aku bisa menanganinya.”
Dia tidak punya pilihan lain. Kalah berarti meninggalkan Maggie tanpa seorang pun yang bisa merawatnya. Dan menolak bertarung? Itu pun bukan pilihan.
Selama tiga tahun Selina mengenal Mika, sang Alpha tidak pernah menyarankan agar perjanjian mereka dengan Carmine Falcone diakhiri. Dengan Falcone sebagai pendukung Macan Tutul, geng-geng lain di East End akan berpikir dua kali untuk merebut daerah kekuasaan mereka. Meskipun itu berarti mereka harus melakukan pertarungan-pertarungan ini dan mempersembahkan para Macan Tutul demi kesenangan penonton.
Falcone menjadikannya pertunjukan mingguan—benar-benar seperti sirkus Romawi Kuno, agar dunia hitam Gotham City mencintai dan menyegani dia. Ini semakin mudah karena banyak penjahat-penjahat kondang sudah dipenjara berkat beberapa pembela kebenaran yang berkeliaran memakai jubah di kota ini.
Mika mengantar gadis itu ke ruang persiapan, sambil mengedikkan dagu ke arah Selina—perintah untuk maju.
Tetapi, Selina berhenti untuk memindai lorong itu, menandai jalan-jalan keluar. Bahkan di bawah sini, di jantung daerah kekuasaan Falcone, membiarkan diri tanpa pertahanan sama saja dengan mencari mati. Terutama jika kau Alpha yang punya banyak musuh, seperti Mika.
Tiga sosok diam-diam masuk dari sebuah pintu di ujung lain lorong itu, dan bahu Selina agak melemas begitu dia melihat gadis beretnis Latin yang muncul. Ani, Orang Kedua Mika, diapit oleh dua Macan Tutul berpangkat rendah.
Bagus. Mereka akan menjaga jalan keluar, sementara Alpha mereka mengurus salah satu anggota mereka sendiri.
Sorak-sorai penonton bergemuruh di lantai beton, membuat ubin-ubin keramik longgar di dinding berderak, bergema di tulang-tulang dan napas Selina, sementara dia mendekati pintu logam penuh penyok yang membuka ke arena. Si tukang pukul memberi isyarat agar dia bergegas, namun dia tetap berjalan dengan langkah teratur. Dengan yakin.
Macan Tutul, pertarungan-pertarungan ini … itulah pekerjaan Selina. Dan bayarannya tinggi. Setelah ibunya pergi dan adik perempuannya sakit, tidak ada pekerjaan sungguhan yang memberikan upah sebanyak atau secepat ini.
Para Macan Tutul tidak menanyakan apa pun tiga tahun lalu. Mereka tidak ingin tahu apakah Selina sengaja memancing perkelahian dengan Cewek Silet di pelataran blok—juga perkelahian berikutnya, dan berikutnya, sampai Mika mengendus kehadiran si tukang kelahi di Gedung C.
Mika hanya berkata kepadanya bahwa terlibat perkelahian-perkelahian semacam ini di East End akan membuat Selina cepat mati, dan bahwa Macan Tutul membutuhkan petarung seperti dirinya. Sang Alpha tidak bertanya siapa yang telah mengajari Selina berkelahi. Atau yang mengajarinya cara menerima tinju.
Si tukang pukul membuka pintu, gemuruh penonton menyeruak ke dalam lorong bagai sekawanan serigala mengamuk.
Selina Kyle meniupkan napas panjang dari mulutnya sambil mengangkat wajah dan melangkah ke tengah gegap gempita, cahaya, dan angkara murka.
Biar pertumpahan darah dimulai.
***
Kedua tangannya sangat bengkak sampai-sampai dia hampir tak sanggup memegang kunci.
Gemerencing kunci-kunci itu terdengar di seluruh lorong kompleks apartemennya, bising seperti bel penanda waktu makan malam.
Dia harus mengerahkan sisa-sisa konsentrasinya untuk memantapkan tangan, agar bisa memasukkan anak kunci ke lubang kunci teratas. Selina tidak mau melihat tiga lubang kunci lain di bawahnya—masing-masing bagaikan puncak gunung yang harus didaki.
Terlalu lama. Terlalu lama Falcone mengulur-ulur pertarungan.
Mika tidak berbohong tentang lawan Selina. Pria itu juga seorang petarung. Tidak benar-benar terlatih, tapi tubuhnya besar. Dua kali bobot Selina. Dan, dia nekat karena harus melunasi utangnya. Pukulan-pukulannya menyakitkan. Itulah gambaran sederhananya.
Tetapi, Selina menang. Bukan karena kekuatan, tapi karena dia lebih pintar. Ketika cedera mulai terasa di sana-sini, ketika pria itu berhasil merampas cambuk dari tangannya, ketika penglihatan di sebelah mata Selina sempat hilang akibat darah … dia menggunakan hukum fisika sederhana untuk melawannya. Guru IPA-nya pasti bangga.
Seandainya dia masuk kelas besok. Atau minggu depan.
Lubang kunci teratas membuka.
Menghadapi lawan yang lebih besar dan berat, kawan terbaik Selina bukanlah kekuatan fisik semata. Bukan, senjatanya adalah sesuatu yang berbeda: kecepatan, kelincahan, kelenturan, dan hampir semuanya dia kuasai berkat pelajaran senam yang sangat sering dia ikuti. Juga cambuk sapi itu. Semua itu bisa dipergunakannya untuk mengagetkan lawan—untuk memanfaatkan kecepatan pria berbobot seratus kilogram yang berlari ke arahnya, agar berbalik melawan dirinya sendiri. Dengan beberapa manuver saja, lawan yang menyerang membabi-buta itu akan jatuh terjengkang. Atau menyeruduk salah satu tiang. Cambuk itu bisa melilit kaki lawan, dan merenggut keseimbangan tubuhnya ketika Selina menyikut perutnya.
Selalu sasar bagian-bagian yang lunak. Dia sudah mempelajari itu sebelum menginjakkan kaki di ring.
Dengan mata kiri yang masih agak buram, Selina memandang kedua ujung lorong bercat biru kelabu itu, melirik sekilas pada coretan-coretan dinding, genangan sesuatu yang bukan air. Tidak satu pun terasa mengancam.
Lorong bagian ini memang remang-remang .… Karena itulah ada empat lubang kunci pada pintu ini. Dan, Maggie tidak diperbolehkan membukanya dalam keadaan apa pun. Terlebih untuk ibu mereka. Serta untuk siapa pun yang datang bersamanya.
Masih terlihat cekungan di pintu logam itu karena peristiwa terakhir—enam bulan lalu.
Cekungan besar bundar di sisi lubang intip. Seorang pria berkeringat, yang berdiri di sisi ibu Selina yang sedang terpengaruh obat-obatan, membenamkan kepalan tinjunya ke sana ketika Selina menolak membuka pintu. Mereka baru pergi begitu salah satu tetangga mengancam akan menelepon polisi.
Ada beberapa orang baik di gedung ini. Orang-orang baik hati. Tetapi, keadaan bisa bertambah runyam jika polisi dipanggil. Polisi berarti pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi kehidupan mereka.
Selina berpaling lagi ke pintu setelah yakin bahwa tidak seorang pun telah menyelinap ke dalam keremangan. Dalam keadaan babak belur seperti itu …. Dia berhasil membuka kunci kedua dan ketiga.
Selina mulai membuka lubang kunci terakhir saat deru lift terdengar di ujung lorong. Pintu-pintu lift yang bobrok itu membuka dan memperlihatkan sosok Mrs. Sullivan, membawa kantong belanjaan di satu tangan, kunci-kunci apartemennya teruntai seperti cakar-cakar logam di tangannya lain.
Pandangan mereka beradu saat wanita kulit putih tua itu berjalan terpincang-pincang di lorong, dan Selina mengangguk ke arahnya, berharap tudung sweatshirt yang dipakainya di balik jaket bisa menyamarkan wajahnya. Cambuk itu setidaknya tersembunyi di balik punggungnya. Mrs. Sullivan mengernyit, berdecak, dan segera berjalan ke apartemennya. Wanita itu punya lima lubang kunci.
Selina tidak terburu-buru membuka lubang kunci terakhir, menyadari betul bahwa Mrs. Sullivan mengawasi setiap gerak-geriknya. Dia berpikir untuk mengatakan kepada Mrs. Sullivan bahwa dia berlama-lama bukan karena berniat merampoknya. Selina menimbang, tapi memutuskan untuk tidak mengatakan itu ketika si wanita tua melempar seringai mengejek ke arahnya.
Sampah—itulah kata yang menari-nari di mata Mrs. Sullivan sebelum dia membanting pintu apartemennya dan semua lubang kunci itu dikunci kembali.
Selina terlalu kesakitan sehingga tidak merasa kesal karenanya. Dia pernah mendengar hinaan yang lebih parah.