Sial.
Selina telah mencatat setiap jalan keluar yang ada dari apartemen ini. Dia melihat ke arah jendela di sisi jauh ruangan itu. Bisakah adiknya menuruni tangga kebakaran cukup cepat agar lolos?
Dia rela menggendong Maggie jika perlu. Selina meringis saat bergegas bangkit, sisa-sisa rasa nyeri menyengat tubuhnya.
Maggie menendang selimut di kakinya saat pintu berderak-derak lagi. “Kita harus bagaimana?” dia berbisik.
Kalau ini masalah Macan Tutul—
“Kami mencari Maria Kyle,” kata si petugas polisi.
Selina mengembuskan napas, Maggie mengikuti. Syukurlah. Mereka pernah menghadapi urusan semacam ini di masa lalu. Beberapa kali.
Sembunyi, ucap Maggie tanpa suara. Polisi-polisi itu pasti mengajukan pertanyaan jika mereka melihat memar-memar Selina. Selina menggelengkan kepala. Tetapi, Maggie bangkit berdiri dan menunjuk kamar tidur, memberi perintah bisu.
Pintu digedor lagi.
Selina berjalan terpincang-pincang dan memastikan bahwa memang dua petugas dari Departemen Kepolisian Gotham City yang sedang berdiri di luar, satu berambut gelap dan satunya lagi berkumis dan agak botak, sebelum dia pergi ke ruang pakaian di kamar tidur.
Ruang ini persembunyian yang bisa diandalkan di masa lalu, satu bagiannya menjorok ke dalam cukup jauh sehingga Selina bisa tetap terlindung. Atau bisa menyembunyikan Maggie di sana. Selina baru saja memanjat tumpukan pakaian yang tersusun padat ketika Maggie membuka pintu apartemen, lubang-lubang kuncinya berketik membuka.
Sambil berusaha keras menguping, Selina mendengar adiknya berucap pelan, seperti sedang bingung karena kantuk. “Ibuku tidak pulang malam ini.”
Salah satu polisi itu bertanya, “Boleh kami masuk?”
“Aku tidak boleh membiarkan orang asing masuk,” kata Maggie. “Bahkan polisi.”
Hening. Kemudian, suara seorang wanita bertanya, “Kalau pekerja sosial, Maggie?”
Jantung Selina serasa copot.
Saat mengintip ke luar tadi, tidak ada wanita, tidak ada pekerja sosial—
Maggie terbata-bata, “Lho, ibuku tidak ada di sini.”
“Kami tahu,” jawab wanita itu tenang namun tidak lembut. “Dia di kantor polisi.”
Gantungan pakaian bergemerencang, Selina menyeruak dari dalam ruang pakaian, rasa nyeri menyengat badannya saat dia melangkahi tumpukan baju yang terlipat rapi, kamar itu kini ladang ranjau yang menghalangi jalannya ke lorong.
Selina terhuyung ke ruang tengah, Maggie berdiri di hadapan pintu yang membuka, dua polisi jangkung itu, dan seorang wanita mungil berkulit putih berbaju setelan kedodoran. Mereka semua menatapnya, mata para polisi menyipit mendapati memar-memar Selina, wajah wanita itu menegang tidak senang.
“Bagus. Saya senang kau ada di sini juga,” hanya itu yang dikatakan si wanita pekerja sosial.
Maggie mundur ke sisi Selina. Polisi dan pekerja sosial masuk ke apartemen, menutup pintu di belakang mereka. Selina tahu para tetangga pasti mencuri dengar secara saksama di balik dinding ketika si pekerja sosial melanjutkan. “Kami menangkap ibu kalian tadi malam. Kondisinya tidak baik.” Dia melirik ke seluruh apartemen. “Tapi, saya yakin kalian sudah tahu.”
“Kami tahu,” ucap Selina datar.
“Keadaanmu juga tidak baik,” imbuh wanita itu.
“Aku baik-baik saja. Kemarin aku terjatuh di tangga.”
“Pasti jatuhmu parah sekali,” salah satu polisi berkata, melipat lengan-lengan besarnya di depan badan. Sebuah pistol, pentungan, dan alat penyetrum, bergantung pada sabuk pinggangnya yang berat.
Selina menjawab, “Kami tidak bisa membayar jaminannya.”
Wanita pekerja sosial itu tega tertawa pelan. “Kami tidak datang untuk meminta uang jaminan.” Dia dan Maggie beradu pandang. “Kami datang untuk membawa kalian.”
“Maggie tidak bersalah,” kata Selina, mendorong adiknya ke belakang tubuhnya.
“Tapi, bagaimana denganmu?” tanya polisi yang kedua, alis di wajah tembamnya terangkat.
Selina tak mengacuhkannya, terus menantang tatapan si pekerja sosial. Ada seribu dolar tersimpan dalam kotak yang direkatkan di bawah bak cuci di dapur. Jika mereka ingin uang suap—
“Kalian berdua tidak dalam masalah, Selina Kyle,” kata si pekerja sosial, sosoknya melambangkan lebah pekerja yang taat aturan dan birokratis. “Tapi, karena kalian sama-sama di bawah umur dan tinggal di sini berdua saja”—setelah melirik keadaan apartemen, wanita itu tahu betul mereka hidup berdua saja selama bertahun-tahun—“kami harus mencarikan tempat hidup yang lebih baik bagi kalian berdua. Ada dua tempat yang sangat baik di beberapa rumah untuk kalian saat ini.”
Rumah orangtua asuh. Terpisah.
Ruangan itu, suara-suara, tubuhnya … semua mulai terasa jauh.
“Ini rumah kami,” ujar Maggie lembut. “Kami senang di sini.”
“Negara tidak berpendapat demikian,” kata salah seorang polisi, kumis pirangnya terlihat sangat kuning di kulit pucatnya. “Dua gadis cilik tinggal berdua saja di gedung ini?” Pria itu melangkah ke dapur dan mulai menggeledah lemari-lemari.
Jantung Selina berdegup kencang mengikuti setiap derit dan debuk kayu lemari. Tangannya mulai gemetar ketika polisi itu berhenti, membuka lemari di bawah bak cuci piring dan mengintip ke dalam. Terdengar bunyi sobekan plester, dan pria itu terkekeh-kekeh sambil berdiri, memegang kotak uang dengan kedua tangan.
Setelah membuka tutup kotak itu, dia tersenyum melihat uang di dalamnya. Dia mengangkat segepok uang dan mengibas-ngibaskannya. Rekannya bersiul rendah tanda senang. “Punya pekerjaan sambilan, ya?” dia bertanya kepada Selina.
Dari cara pria itu memandang sekujur tubuhnya secara terperinci, Selina tahu pekerjaan macam apa yang dibayangkan oleh si polisi. “Tidak,” hanya itu jawaban Selina.
Si polisi tahu di mana kira-kira kotak itu disembunyikan. Mungkin dia menduga akan menemukan obat-obatan terlarang. Selina seharusnya lebih pintar menyembunyikan kotak tersebut, mencari tempat yang lebih cerdik untuk uang itu—
Si pekerja sosial berkata, “Kau punya catatan kriminal.”
“Itu tiga tahun lalu,” tak disangka-sangka, suara Selina terdengar datar.
“Kau punya dua kasus,” si pekerja sosial melanjutkan. “Tidak ada seorang hakim pun akan membiarkan kalian tinggal di sini.” Wanita itu menunjuk ke arah kamar tidur mereka. “Kemasi barang-barang kalian. Bawa barang yang cukup untuk satu atau dua minggu.”
Maggie menggeleng. “Aku tak mau pergi.”
Selina menyaksikan si polisi berkumis tersenyum ke arahnya dan mengantongi uang seribu dolar itu. Perut Selina serasa anjlok, denyut jantungnya berdebam-debam di setiap jengkal tubuhnya yang babak belur.
Dua polisi korup di dalam apartemennya, dan seorang pekerja sosial yang tak punya perasaan. Tidak bagus. Tidak aman.
“Maggie,” gumam Selina kepada adiknya, “kemasi barang-barangmu.”
Maggie tidak mau bergerak.
Selina berpaling kepada wanita itu, yang melipat kedua lengan rampingnya. “Adik saya menderita kondisi medis yang serius. Dia tidak bisa tinggal di rumah penampungan yang kotor.”
“Setiap rumah asuh dalam sistem kami secara teratur diperiksa kebersihan dan keamanannya. Kebutuhan adikmu akan terpenuhi di rumah mana pun yang akan dia diami.”
Omong kosong. Selina pernah mendengar dari sesama Macan Tutul bahwa rumah-rumah itu, paling baik, seperti sarang kecoak.
“Dan mengenai kebutuhan khusus Maggie,” kata wanita itu, kesabarannya menipis dan ucapannya mulai ketus, “sepertinya tidak aman jika dia tinggal dengan kakak yang punya catatan kriminal.”
Maggie membentak, “Kau tidak tahu apa-apa.”
Selina melempar tatapan peringatan kepada adiknya. “Kemasi barang-barangmu ke dalam tas.”
Maggie menggeleng, rambut ikalnya berayun-ayun. “Aku tidak mau pergi.”
“Ini hampir jam satu dini hari,” bujuk si pekerja sosial. “Kau harus dipindahkan ke tempat yang aman.”
“Aku aman di sini,” jawab Maggie, suaranya terbata-bata.