Tidak ada celah untuk cahaya rembulan demi menerangi mobil kapsul hitam menyusuri jalan pulang. Gerimis telah membasahi lahan bumi hingga becek. Rerumputan pasrah terlindas. Pohon-pohon menjulang tinggi di pinggir jalur bertanah nan berbatu basah kuyup. Lampu di tiang-tian tertentu menyoroti jalan, rintik-rintiknya berjatuhan bagai jarum.
Wiper mobil tak henti-henti menyeka jendela. Tangan dingin di kemudi tergenggam erat mencari kehangatan. Barulah dia mengurangi kecepatan ketika menemukan rumah berlahan luas yang bercahaya minim. Penanda kehidupan manusia masih berlangsung jauh dari pemukiman kota.
Rumah kokoh berumur tua itu memiliki banyak jendela. Semak-semak bunga mawar mengelilingi sudut-sudut rumah di bawah jendela. Tidak ada pagar selain kotak pos, pohon rindang lebat berakar kuat tak bernama, dan mobil hitam berkaca gelap. Pohon kokoh tak bernama itu menjadi tempat mobil si pendatang untuk berteduh.
Barulah dia mengoper gigi mobil ke posisi semula setelah mematikan daya. Keluar dari mobil tanpa membawa payung selain berpakaian serba hitam dan sepatu boot kotor. Masuk ke rumah tanpa perlu mengetuk pintu, tak mengkhawatirkan jejak sepatu boot di depan pintu.
Tidak ada sambutan hangat dari pemilik rumah, bahkan enggan menyalakan lampu rumah selain lampu teras. Dia hanya tinggal mengikuti cahaya minim di ujung koridor sana. Terbiasa dengan kegelapan, seperti cicak di dinding menanti mangsa.
Melewati ruang tamu, dia pergi menuju kamar berpintu kayu hitam yang berseberangan dengan dapur. Ruang kamar biasa berisi lemari kayu dan ranjang kasur tak berpenghuni. Karpet beludru merah terbentang di lantai pun disingkirkan. Terdapat pintu kayu dengan pegangan besi kecil terpampang setengah ukuran karpet. Tanpa ragu ia membukanya lebar-lebar.
Sebuah tangga menuju rubanah tersembunyi. Dia turun ke dalam ruang minim cahaya itu tak lupa menutup pintu setelah memastikan keamanan tanpa penjagaan.
Aroma tanah basah di sepatu boot berganti aroma asing nan menjijikan. Dia dapat menghidu aroma darah menguar setiap turun melangkahi anak tangga. Berhentilah dia ketika mencapai lantai dasar bertirai plastik transparan tebal. Satu-satunya cahaya tersembunyi di rumah ini.
Kuku-kuku jemari bersembunyi di telapak. Harap cemas dinginnya malam dapat dihangatkan dalam kepalan dua tangan. Namun, rasanya di rumah ini akan semakin dingin ketika dia membuka tirai itu. Barulah ia memberanikan diri menjangkau tirai itu.
Bau amis segar menyerbak ke seluruh ruang remang nan sesak itu. Darah kering tercemar di ubin dingin. Tepat di bawah sorot lampu gantung, jasad perempuan tak dikenal perlahan membiru. Terbaring kaku di ranjang operasi. Jahitan rapi melintang dari luka sayatan dada hingga bawah perut. Kotak pendingin dibiarkan duduk di samping ranjang.
Dokter yang mengoperasi sedang membasuh tangan di wastafel. Mungkin, airnya yang deras membuat telinganya tuli, kehadirannya pun tidak dipertanyakan. Dia menanti momen yang tepat menyapa, tetapi jika berlama menjadi lalat tak diundang pastinya membuat situasi canggung. Dia membawa tubuhnya mendekat ke meja, tepat di belakang dokter berseragam baju operasi itu.
"Koh, maaf saya terlambat," ucapnya sedikit menyesal, "saya baru balik mengantar bunga pemakaman di kota sebelah. Sekarang mobilnya sudah siap."
Air kran berhenti mengalir. Punggung sang dokter berdiri tegak seraya mengeringkan tangan dengan kain serbet menggantung setinggi kepala.
"Kamu sudah membaca koran pagi tadi, Jian?" Suaranya serak, mungkin kelelahan mengoperasi pasien tak bernyawa itu.
Jian namanya, pemuda itu tampak ragu menjawab. Mata sipitnya memandang kaki mayat demi mencari jawaban tepat. Sebelum menjawab, ia melipat tangan ke belakang punggung.
"Maaf, saya tidak sempat membaca koran. Saya sibuk sejak pagi."
Si dokter menumpu tubuhnya ke pinggir wastafel, mengambil koran harian di sampingnya, kemudian berbalik menghampiri Jian. Betapa tidak mengenakannya raut wajah si dokter kala menampar Jian dengan koran terlipat dua. Wajah Jian terlempar ke sisi lain, dua tangan di punggung menggenggam erat satu sama lain.
"Dasar adik tidak becus!" Manusia keji itu membanting koran tepat di bawah mata Jian. "Aku sudah bilang padamu berkali-kali untuk menggali tanah lebih dari satu meter, kalau bisa sampai dua meter pun lakukan saja. Inilah akibatnya jika kamu bermalas-malasan!"
Jian dapat melihat tajuk utama koran terpampang lebar dengan foto olah TKP di lahan kosong; TIGA MAYAT TAK BERNAMA DITEMUKAN DI LAHAN TERBENGKALAI. Ia bergeming tanpa menunjukkan rasa takut.