Dupa telah terbakar setengah. Asapnya menyambut tamu perempuan yang berdiri di depan altar foto. Bunga krisan kuning mengelilingi bingkai foto pria lansia. Hawa sedih nan hampa melingkupi seluruh ruang. Suasana berkabung yang baru Hara temui semasa hidupnya.
Hara memandang foto duka dengan perasaan campur aduk. Air mata menetes diam-diam. Bibir terkunci rapat kala menaruh bunga krisan di depan foto. Dua bola mata berkaca-kaca memandang lekat potret pria tua beruban tanpa senyuman. Pajangan kaligrafi dinding aksara Cina melengkapi pernak-pernik aula duka.
"Maaf, aku terlambat datang. Istirahat yang tenang, Engkong." Hara memejamkan mata sejenak untuk mengirim doa sesuai kepercayaannya. Bertepatan di samping ruang penghormatan terakhir, aula pemakaman yang Hara lewati terdengar isak tangis perempuan. Tidak banyak pelayat, hanya ada pasutri paruh baya dan seorang pemuda. Sisanya para pedagang dan tetangga yang mengenal mendiang.
Para pelayat hingga keluarga berduka berpakaian serba putih. Jika Hara masuk ke aula pemakaman, Hara akan menjadi penguin tersesat. Celana, jaket jeans, sepatu, sarung tangan kulit hitam. Hanya kaos dan ikat rambut berwarna putih, tanpa riasan wajah apa pun.
Bukan karena soal pakaian ia enggan masuk ke sana, Hara menyadari batasan sebagai orang luar. Tangisan keluarga kecil itu sudah mewakili kesedihannya. Hara melangkah pergi menuju ruang perjamuan yang tak jauh dari aula pemakaman.
Ruang perjamuan dijaga oleh dua pemuda berpakaian putih. Duduk di belakang meja tepat di sebelah pintu dan menjaga kotak sumbangan. Mereka langsung berdiri tegak ketika Hara datang.
"Selamat datang, Cici Hara. Cici gak apa-apa?" Pemuda jangkung itu khawatir melihat wajah sembap Hara. Ia memberikan selembar tisu kepadanya.
"Aku baik-baik saja. Aku sedih karena berduka." Hara menerima selembar tisu itu dengan cepat dan mengusap matanya. "Kamsia, Wira."
"Cici gak mau ketemu sama Engkong di aula dulu? Petinya sebentar lagi mau ditutup." Pemuda lain bertanya kepadanya dengan lembut.
"Aku bukan siapa-siapanya, Lim. Aku ... cuman orang luar yang kebetulan akrab sejak kecil dengannya." Hara tersenyum tipis. Ia mengeluarkan amplop putih dan memasukkannya ke dalam kotak sumbangan. "Makasih ya, udah ngabarin kepergian Engkong kemarin malam."
"Justru kita yang gak enak ngasih kabar dadakan. Apalagi kami dengar, Cici ada acara di Trisakti." ujar Lim merasa tidak enak hati. "Memang umur enggak ada yang tahu. Tiba-tiba Engkong Lian gagal jantung. Padahal, dua hari yang lalu baru bantu bersih-bersih rumah makan."
"Cici pasti capek abis dari perjalanan panjang. Mau aku bawain air dingin? Aku bisa ambilin dari ruang sebelah," tawar Wira sigap membantu kebutuhan Hara.
"Boleh. Kebetulan aku haus." Hara mengangguk kecil tatkala tenggorokannya pun terasa kering.
"Siap! Oh ya, gitarnya udah aku letakkan di meja kosong itu. Cici bisa makan kue-kuenya di meja juga, oke!" Wira bergegas keluar mencari penyimpanan air dingin di luar ruangan.
Hara mengangguk patuh menuju meja kosong yang sudah di booking tas gitar. Ia memilih duduk berhadapan dengan gitar bagai duduk bersama teman. Ada kue basah dan kue kering di tengah meja, tetapi ia tidak terlalu nafsu mengunyah camilan. Kabar kepergian pria tua bernama Engkong Lian mencubit hatinya sejak kemarin malam. Selama di perjalanan diantar rekan musisi lain, hatinya cukup gelisah.
"Kamu sudah kembali rupanya, Nak Hara."
"Eh, halo Om Bayu." Hara langsung duduk tegak kala pria paruh baya datang memanggilnya. "Iya, Om. Saya baru datang."
Hara menghidu aroma gurih bakso dengan mie kuning dalam mangkuk genggaman pria itu. Tersenyum kecil, Hara tidak menahan keheranannya untuk berbasa-basi.
"Om baru sarapan?"
"Sebenarnya sudah, tapi ada bakso lewat depan sana saya jadi pengin beli Kamu mau? Saya belikan sekalian kalau mau."
"Makasih Om tawarannya. Om Bayu aja yang makan." Hara menolak secara sopan.
Hara melihat-lihat sekelilingnya, seluruh meja terisi satu-dua orang yang tidak ia kenal. Ia berinisiatif mengangkat tas gitar yang duduk di hadapannya menjadi duduk di kursi samping Hara. Ia mempersilakan pria itu duduk di hadapannya.
"Silakan duduk sama saya, Om."
"Wah, baru aja saya mau tanya boleh duduk di sini. Makasih ya, Nak." Pria pembawa mangkuk bakso itu berterima kasih pada Hara telah mempersilakannya duduk satu meja.
Hara lihat pakaian orang tua yang ia panggil Om Bayu mengenakan kaos merah dengan jaket coklat tanah. Tak ada kesedihan pada raut wajahnya. Fokus mengaduk kuah, membelah bakso, dan melahap sekali suap. Denting sendok dan garpu di mangkok beradu membuat bising satu ruangan.