Cawan Kosong

Celica Yuzi
Chapter #5

04 | SEBUAH NAMA

Awan kelabu bergerak menyelimuti langit, menghalau mentari menyengat kepala dan mata. Sejak azan Zuhur selesai berkumandang, prosesi terakhir mengunci peti berlangsung damai.

Para pelayat tidak disarankan melihat prosesi sehingga masih banyak pelayat di aula perjamuan, termasuk Hara dan dua pemuda penjaga aula yang memutuskan mencari udara segar. Duduk bersama menghadap dua rangkaian bunga duka cita berbekal segenggam amplop merah berisi koin dan saputangan yang tak boleh dibawa pulang. Mereka mendapatkannya saat di aula perjamuan dari anak perempuan Engkong Lian, suami, dan sang cucu.

Lim merasa bosan memandangi amplop merah dan saputangan. Ia menyikut tubuh Wira ketika pertanyaan acak terlintas di benaknya. "Koh, kenapa nama lengkap Engkong Lian bisa beda dari panggilannya? Namanya Andhika Kusuma, tapi sering dipanggil Lian."

"Kalau kata kakakku, waktu Orde Baru berlangsung orang-orang kita namanya harus diganti melokal untuk ikut kebijakan pemerintah, Lim. Sama kayak orang tua kita, mereka punya nama lokal karena kebijakan itu."

"Ooo .... Berarti Engkong punya nama aslinya, 'kan?"

"Aku pernah iseng nanya waktu imlekan bulan kemarin. Engkong Lian sengaja hapus nama aslinya selain nama panggilan. Karena ada kebijakan pemerintah itu, akhirnya Engkong ganti nama jadi Andhika Kusuma supaya dipermudah urusan administrasi dan lain-lainnya."

Hara menyimak perbincangan Wira dan Lim seraya mengamati bunga duka bernama Andhika 'Lian' Kusuma. Tidak ada nama asli selain Lian. Tanggal kematian tertulis Jumat, 12 Mei 2023, bertepatan dengan berlangsungnya acara yang Hara datangi demi menggantikan temannya di acara kampus swasta ternama Jakarta.

"Keluarga besarnya ke mana ya? Cuma keluarga anaknya engkong yang datang hari ini?" Lim menebak-nebak siapakah orang-orang asing yang jarang ditemui selain pedagang atau keluarga Engkong Lian.

"Engkong pernah cerita sama aku, sudah lama sekali saudaranya meninggal waktu tragedi '98. Dia juga sudah lama berpisah dengan kerabat lain," sahut Hara. Sedikit mengetahui kisah Engkong Lian sejak lama. "Satu-satunya yang kenal Engkong Lian hanya anaknya sama Om Bayu."

"Iya juga, Om Bayu udah lama tinggal di sini pasti taulah seluk beluk Jakarta, apalagi Engkong." Wira mengangguk paham.

"Bukannya Om Bayu juga keturunan Tionghoa kayak kita berdua ya, Koh? Aku gak pernah dengar nama lahirnya siapa."

"Om Bayu sejak lahir sudah memiliki nama itu." Hara menjawab pertanyaan Lim Si Kepo. "Dia keturunan Tionghoa-Jawa, tapi dia lahir dengan nama yang sekarang. Ya, kayak aku yang hanya memiliki nama panjang ala kadarnya sejak lahir."

"Sumber dari mana, Ci?" Wira penasaran dari mana ia mengetahui cerita itu.

"Om Bayu yang bilang sendiri. Waktu ambil rapor kelas delapan SMP dulu, Om Bayu jadi wali-ku. Aku baru tau nama panjang Om waktu itu dan dia jelasin banyak hal tentang namanya. Lucunya, wali kelasku yang galak itu sempat kepo sama namanya yang gak selaras dengan wajahnya, tapi Om Bayu dipuji-puji karena namanya keliatan sekeren orangnya."

"Cici belum dengar ya? Beberapa kali aku bantu papaku antar barang-barang ke pasar, banyak ibu-ibu yang ngomongin Om Bayu juga!" Lim bersemangat membicarakan sosok yang tiada keberadaannya sekarang. "Ibu-ibu di pasar bilang begini, 'Sayang banget ya si Bayu gak mau nikah lagi.' 'Mana waktu muda sampai sekarang masih ganteng dan gagah.' 'Sejak lama orangnya rajin banget.' 'Aduh kalau gak inget umur anak, udah saya jodohin sama anak saya.' Gitu kata-kata mereka."

Wira merapatkan bibir menahan tawa. "Kalau mereka tau Om Bayu sehari-hari suka ngutang pulsa sama paketan ke papamu, gak ada lagi tuh muji-muji buat jadi mantu idaman. Apalagi sering berurusan nangkap kucing kampung sebelah."

Mereka bertiga tertawa diam-diam di depan karangan bunga pemakaman. Tidak ada yang tahu pasti telinga manusia yang mereka bicarakan sedang merasa gatal dari kejauhan.

"Oh yatangan Cici gak keringetan pakai sarung tangan terus?" Lim mendadak kepo. Sejak awal datang kemari, Hara masih mengenakan sarung tangan. "Atau tangan Cici sering terluka?"

"Tanganku beberapa kali terluka karena stem senar dan potong buah, tapi aku harus tetap pakai karena alasan lain." Hara memainkan jari-jarinya, menunjukkan tangannya sudah beradaptasi dengan sarung tangan yang ia kenakan. "Aku udah terbiasa memakainya sejak kecil."

"Cici gak suka yang kotor-kotor ya? Namanya apa ya.... Misa? Misi? Ah ya, Misafobia."

"Misofobia," ralat Wira. "Iyakah, Ci? Cici fobia nyentuh barang kotor?"

"Aku gak fobia. Hanya saja kalau aku menyentuh barang, aku—"

Lihat selengkapnya