Garis polisi di lahan kosong Kali Besar membatasi area TKP. Tidak terlalu ramai, tetapi bukan berarti masyarakat tidak penasaran melihat apa yang terjadi. Para tim forensik menyusuri TKP, sementara dua petugas kepolisian memantau dari mobil. Seraya memperhatikan petugas lain bekerja, mereka berdua asyik merokok dengan pikiran melayang bagai dua burung gereja yang baru saja melintas langit biru.
"Ini tidak adil. Kita yang kerja, si Bos malah eksis sama Pak Kapolres di konferensi pers pagi ini," keluh pria berkulit sawo matang setelah membuang asap rokok kretek di tangannya.
"Namanya Kasat Reskrim, beliau setidaknya harus menemani Kapolres di konferensi pers dan menjawab pertanyaan media." Rekannya hanya tertawa tipis menanggapi keluh kesah yang kurang lebih sama. Matanya yang sipit semakin menyipit melihat matahari.
"Ekonomi lagi goyang malah ada kasus seperti ini." Rokok kembali diisap dengan kencang bersamaan asap keluar dari hidungnya. "Orang gila macam apa yang kita hadapi? Minggu lalu kita menemukan tiga mayat di belakang komplek perumahan, sekarang di Kali Besar."
"Ini kasus besar pertama setelah kita pindah divisi. Kita harus bekerja sepenuh hati walau kamu ingin menolaknya." Pria berkalung ID card Bayu Hanenda membuang rokok ke kotak kosong. Kemudian dia mengambil map berisi lembaran-lembaran dokumen di belakangnya.
"Aku menyesal pindah divisi. Aku rindu dimarahi ibu kantin yang nagih utang gorengan karena kita selalu buru-buru piket." Pria dengan kalung nama anggota Zaidan Anwar mengeluh sesuka hati. Rekannya hanya bisa tertawa miris. "Aku salut denganmu. Bisa-bisanya kamu masih tahan kerja diejek Cina-Jawa melulu sama Bos. Sudah rasis, mabuk-mabukan, main kasar sama cewek, untung kamu selamatkan cewek itu dari cengkeraman si Bos. Aku tak bisa menahannya sendiri karena terlalu takut. Gimana ya kabar mbak-mbak cantik itu?"
Bayu mendadak memikirkan perempuan yang disinggung. "Aku berharap semoga dia baik-baik saja." Dia lanjut memeriksa daftar lokasi. Balik halaman selanjutnya, ada tiga nama korban yang telah diidentifikasi satu minggu lalu di TPU Joglo. Mereka semua adalah perempuan muda berumur 20-30an. Begitu pula dengan penemuan baru yang sedang dikawal tim forensik, dua mayat lain.
"Kamu tahu, sebelum kita berangkat tadi si Bos terlihat pucat saat apel pembagian tugas tadi. Kalau kamu menyadari si Bos bersikap baik dan pasrah, pasti ada sesuatu yang disembunyikan malah terbongkar."
"Alah, paling sebelum berangkat dia dimarahi istrinya."
"Gak mungkin. Rumornya dia sudah bercerai karena selingkuh sana-sini. Pasti dia dimarahi Pak Kapolres sebelum apel pagi bersama kita karena belum menemukan pelaku Penguburan Mayat ini. Firasatku bilang, Penguburan Mayat berhubungan sama Orang Besar yang sedang dicari tim pertama. Pasti lima mayat itu sudah terkubur berbulan-bulan lamanya atau sampai bertahun-tahun."
"Mungkin iya dan tidak. Kasus ini sejujurnya cukup mengerikan karena sampai sekarang korbannya perempuan semua." Bayu mengangguk. "Apakah pemilik lahan kosong belakang perumahan itu sudah ditemui?"
Rekan merokok Bayu menggeleng lemah. "Informasi yang kumpulkan tentang pemilik lahan itu bernama Pak Mulyo, sudah meninggal sebulan yang lalu karena sakit keras. Lahan itu susah dijual karena letaknya tidak strategis selain kabar mistis yang tidak mengenakkan. Sertifikat tanah masih aku cari bareng anak-anak. Kalau keluarga korban, sudah kamu temui semua?"
"Dua dari tiga mayat diidentifikasi hidup sendiri dan jauh dari orang tua. Satu lagi hidup bersama ibunya yang sakit."
Asap rokok keluar dari bibir Zaidan saat berbicara lagi. "Wah, ini sih mulai kelihatan pola- Eh, si Ibu Forensik datang tuh." Ia menepuk Bayu dan langsung mematikan rokok di kotak kosong ketika didatangi perempuan berambut pendek yang memakai masker medis. Mereka berdua bangkit dan memberi hormat sedetik.
"Bagaimana, Bu Nia, mayat yang ditemukan perempuan lagi?" Bayu menyambut kedatangan perempuan bergincu merah itu.
"Kemungkinan besar, iya. Hanya saja, mayat hampir sulit bisa diidentifikasi karena telah lama dikubur. Kami harus membawanya ke lab dan kemungkinan akan memakan waktu kurang lebih seminggu." Nia, namanya. Perempuan itu melepas sarung tangan kemudian memasukkannya ke dalam topi. “Bagaimana kalian melacak mayat ini? Menggunakan bantuan anjing pelacak?”
“Kepala tim mengatakan ada telepon saat Subuh lalu. Penelepon tak dikenal mengeluh ada bau busuk tercium di sekitar lahan kosong Kali Besar setelah hujan. Kami ingin mencari penelpon tersebut sebagai saksi, tetapi petugas yang menerima telepon tersebut mengatakan tidak mengetahui identitasnya.”
“Kami menanyakan satu-satu warga di sini, tetapi mereka juga baru mengetahui ada mayat di lahan kosong ini.” Zaidan menggaruk tengkuk lehernya tidak nyaman. "Kasus ini semakin berbahaya."
"Begitu rupanya. Omong-omong, kalian tidak mengawal konferensi pers?"
"Senior yang ikut, Bu. Kami tidak masalah mengawasi lokasi TKP," jawab Bayu tanpa beban.
Nia mengangguk paham. Dia melirik jam tangannya. "Sudah jam makan siang, kalian bisa balik duluan. Ada rumah makan rekomendasi saya, namanya Seribu Teratai di kawasan Pasar Glodok, dijamin halal. Sisa pengerjaan di sini akan saya kabari nanti."
"Terima kasih rekomendasinya, Bu Nia. Kami izin kembali dulu." Bayu menunduk sopan setelah kepergian petugas forensik itu kembali ke lokasi TKP.
"Makan di sana aja yuk? Lapar banget." Zaidan menepuk-nepuk perutnya yang keroncongan.
"Ya sudah aku ngikut aja." Sebelum pergi, mereka langsung mengalungkan identitas kepolisian ke saku celana masing-masing, menutup bagasi dan masuk ke dalam mobil menuju tempat tujuan makan siang yang direkomendasikan Bu Nia.
+++
Televisi yang terpajang di sudut atas ruang Seribu Teratai menampilkan konferensi pers kasus 'Penguburan Mayat'. Para pelanggan berjumlah sembilan orang berbeda meja menyantap pesanan masing-masing tanpa ragu. Sima baru mengantar pesanan berupa dua nasi capcai, dua kwetiau, dan empat jus jeruk kepada kelompok remaja SMA dekat rolling door.