Rumah Sima berjarak 18 menit dari rumah makan Seribu Teratai. Mengingat-ingat jalan rumah Sima berdasarkan memori lama yang sedikit berdebu, Bayu cukup menaiki bus di tengah teriknya matahari menyapa.
Rumah Sima sekarang dengan ingatannya tetap sama, sederhana dan terletak di kompleks perumahan. Interior rumahnya dominan diselimuti warna putih gading. Ruang tamu diisi satu set meja dan sofa sederhana. Dekorasi bunga palsu dan lukisan bukit berumput yang menenangkan hati di dinding menenangkan hati masih di sana. Bayu merasakan nostalgia menjadi anak sekolah lagi.
Terakhir kali ia menginjak rumah Sima kira-kira saat kunjungannya pamit pergi ke akademi kepolisian. Bayu masih ingat, ibunda Sima memberinya satu bekal nasi kuning dengan lauk pauk menggugah selera.
Seperti yang diberi tahu oleh pemilik Toko Bunga Delima, pemilik Seribu Teratai pun menjenguk ibunya Sima. Dia dipanggil Lian, tatapan pria paruh baya itu sejak awal menyambut kedatangan Bayu tanpa kehangatan. Bayu berfirasat, jika berbuat salah sedikit bisa saja diterkam sedetik kemudian.
Sejauh ingatannya pula, Sima bercerita jika hubungannya dengan Lian hanya sebatas bos dan karyawan, tetapi sikap orang tua itu seperti bapak kandungnya sajaㅡprotektif dan menaruh ketidaksukaan pria asing untuk pertemuan pertama. Mirip dengan sinetron tentang pasangan kekasih yang terhalang restu orang tua.
Namun, Bayu tidak ingin memusingkan kehadiran Lian yang bersedekap duluan. Sudah dua kali dia bertemu Koh Lian. Pertama kali Bayu mendapat tatapan tak bersahabat itu saat kembali bersama Sima ke rumah makan Seribu Teratai.
Bayu tahu ia harus duduk tenang, walau perasaannya gugup setengah mampus. Bayu hanya membawa sebuket bunga mawar kreasi Jian, sementara Koh Lian membawa makanan untuk ibu Sima dan datang sepuluh menit lebih awal.
Sima meninggalkan mereka berdua untuk membantu menyuapi makanan ibundanya di kamar. Walau baru lima menit duduk berseberangan, tanpa percakapan sedikit pun bagai hidup melewati zaman Mesolitikum.
Betul-betul canggung.
"Bunga itu untuk Sima?" Lian memecah keheningan kala memperhatikan buket bunga mawar di samping Bayu.
"Ya? Oh .... Ini untuk Simㅡibunya Sima." Bayu sangat grogi. Dirinya mengutuk mulutnya tergagap.
"Saya dengar kamu akan pergi jalan-jalan dengan Sima hari ini, karena itu sebelumnya dia izin berganti shift. Kamu ingin mengajaknya berkencan?"
Tepat sasaran. Bayu tidak bisa mengelak karena itulah rencananya.
Sudah lama ia menyukai Sima sejak belajar bersama. Setelah sekian lama tak jumpa dan akhirnya bertemu lagi, Bayu ingin menyatakan perasaannya dengan benar. Dia tidak bisa menyembunyikan niatnya yang telah terbaca oleh Lian.
"Benar. Saya ingin berkencan dengannya." Bayu memandang buket mawarnya. "Sudah lama saya memendam perasaan kepadanya sejak kami berteman di SMA. Sima sudah membantu saya belajar di sekolah sampai kami lulus."
"Memangnya kalian tidak bertemu lagi setelah lulus sekolah?"
"Saya pergi ke akademi kepolisian dan Sima melanjutkan pendidikan di luar kota. Kami tidak bertemu setelah lulus lima tahun yang lalu."
Kisah klasik tentang pertemuan lama sepasang pemuda-pemudi yang terpisah oleh waktu dan keadaan. Lian tidak merespon lagi setelah menerima jawaban Bayu. Dia memilih menyesap sajian teh celup aroma bunga melati buatan Sima.
"Kalau pun dia menerima perasaanmu, memangnya kamu dapat menjamin Sima akan bahagia bersamamu?" Lian bertanya lagi. "Perempuan itu makhluk yang rapuh. Mereka lemah dan tak berdaya. Tiada hari tanpa air mata jika kamu memutuskan hidup bersamanya nanti. Kamu juga pasti tahu masa lalunya yang kelam."
Lian menggoyangkan isi cangkir. Pantulan matanya menyeruak di dalam teh. Bayu pun tak bisa menebak isi pikirannya selain menyimak ucapan pria paruh baya itu kembali, "Saya tidak yakin kamu benar-benar menerima masa lalunya hanya karena kamu menyukai Sima sebab kalian berteman sejak lama. Saya juga sudah melihat banyak anak-anak sebayamu tak pernah memegang janji. Justru mengingkari dan membuang janjinya seakan dapat dibuang bagai kertas lecak. Yakin, kamu benar-benar dapat menjaganya?"
Bayu tak menduga akan mendapat serentet kalimat yang berniat meragukan niatnya melamar Sima sebagai kekasih. Tangannya angannya mengepal di atas paha, mencoba berpikir tenang jawaban apa yang akan disampaikan kepada orang tua ini.
"Bila kamu ingin melindungi Sima, sekarang adalah waktu yang tepat karena roda waktu terus berputar"
Ucapan Jian di toko bunga berputar di kepalanya. Dia memiliki dukungan itu. Bayu yakin bahwa ia dapat menjadi pendamping yang akan melindungi Sima. Bayu menarik napas dan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan menjebak Lian.
"Sima tetaplah Sima yang saya kenal sejak dulu. Dia sudah merangkul saya; membantu bertahan hidup di sekolah. Saya tidak berpikir masa lalu kelam Sima adalah noda, dia melakukannya karena kondisi yang sulit. Begitu pun bagaimana Sima melihat saya dulu." Bayu dapat tersenyum tanpa ragu.
"Dulu, selama saya bersekolah, akan selalu ada omongan keluarga saya diusir dari kota kelahiran saya akibat dianggap berhubungan dengan komunis. Kami diusir karena selain ayah saya seorang Cina totok, bisnis toko alat musik kami selalu didatangi pelanggan luar termasuk tamu dari Cina. Bisnis keluarga bangkrut dan untungnya masih bisa hidup di tengah kerasnya Jakarta.
"Satu-satunya anak yang tidak memandang masa lalu kelam saya itu adalah Sima seorang. Hanya dia yang mengulurkan tangan untuk belajar giat sampai saya lulus dari akademi. Oleh karena itu, sekarang giliran saya melindungi perempuan yang saya cintai walau kelak Sima menolak perasaan saya."
Bayu berhasil mendeklarasi alasan kuat untuk menjalin hubungan dengan Sima. Tidak peduli isi pikiran Lian seperti apa, dia akan tetap berkata demikian rupa jika Lian mempermasalahkan niat baiknya.
Lian menyungging bibir kecil. "Saya jadi teringat bagaimana saya melamar mantan istri saya dahulu. Sayangnya, meski saya sudah menunjukkan kasih sayang yang banyak padanya, pada akhirnya istri saya selingkuh terang-terangan dengan pria lain."