50 menit berlalu begitu cepat, bincang-bincang minum teh bersama Huan ternyata tak seburuk yang Hara bayangkan. Lebih tepatnya, seperti berbicara dengan teman lama. Kini sudah ketiga kalinya Huan menuang teh ke cawan milik Hara.
Hara tidak menduga obrolan kaku seputar Koh Lian berubah menggelitik perut. Tertawa terpingkal-pingkal mendengar kisah Huan tentang masa kecilnya bersama Engkong Liah hingga kuliah, Hara menepuk-nepuk meja tak peduli cawan di meja bergetar hampir melarikan diri.
"Gila, pengalaman masa KKN kamu lucu banget, bisa-bisanya dikejar bebek sampai posyandu. KKN-mu menyenangkan banget!" Hara menyeka setitik air di ujung mata. Sejenak, ia menggali ingatan menggelitik di kotak memorinya.
"Aku jadi teringat masa SMP-ku. Waktu pertama kali aku mendengar nama motor bebek saat SMP, aku sempat bertanya pada Koh Lian, mengapa disebut demikian? Apakah motornya bersaudara dengan bebek atau motornya lahir dari induk bebek? Engkong Lian katanya hanya mengetahui motor bebek tidak bisa dipanggang, sementara bebek asli bisa sampai masuk ke dalam perut sampai kenyang."
"Lucu sekali, Engkong memang selalu senang bercanda," sahut Huan mendengar kisah Hara.
Mata Hara menatap lurus isi cawan. Alam bawah sadar menyapu kesadarannya di tengah penggalian mengingat kenangan tentang sosok pria lanjut usia yang telah menemani hari-hari Hara dengan makanan lezat. Walau saat Sempat hatinya merasa sedih. Kini, bibirnya tersenyum simpul.
"Makasih ya, udah bikin aku ketawa. Sejak kemarin, aku masih kepikiran tentang Engkong Lian." Hara semakin tersenyum lebar. "Cerita kamu lucu!"
"Syukurlah kamu terhibur." Huan tersenyum lebar melihat Hara yang tidak diselimuti hawa kesedihan. Ketika Hara menenggak sisa teh di cawan, Huan mengeluarkan foto lama. Potret anak-anak kecil berdiri di belakang meja kue ulang tahun dengan lilin angka enam.
"Omong-omong, kamu ingat foto ini? Ini acara ulang tahunku dan pertama kalinya aku bertemu denganmu." Huan menunjuk anak laki-laki bertopi kerucut di depan kue ulang tahun, lalu bergerak menunjuk anak perempuan berambut pendek berwajah murung di foto, dua tangannya bersembunyi di belakang punggung.
Hara menyipitkan mata. "Anak ini ... aku?"
"Iya, ini kamu. Aku gak salah ingat. Aku mengejek dan membuang sarung tanganmu ke kolam karena iseng semata. Penampilanmu juga kelihatan berbeda."
Hara mengetuk-ngetuk kepalanya demi mengingat kejadian tersebut. Terlalu buram menggali ingatan lama yang terpendam. "Eng ... biar aku mengingat-ingat ...."
Semakin lama, wajah Hara lebih dekat memandang foto. Hanya beberapa detik saja, Hara kemudian menjentikkan jari. "Ah, kamu anak orang kaya yang merayakan ultah di panti itu? Benar. Saat aku kabur karena berantem dengan anak orang kaya yang menjahiliku, aku kabur ke taman dan bertemu Om Bayu. Dia padahal terlihat sedih, tapi malah dia yang menghiburku dengan membelikan sarung tangan baru. Pemberiannya sudah tua dan kusam, tapi masih aku simpan sampai sekarang."
"Om Bayu? Siapa dia?"
"Itu .... Bapak-bapak yang pakai baju merah di pemakaman kemarin kalau kamu sempat melihatnya."
"Aku sepertinya melewatkan dia karena seharian di aula utama. Bagaimana sosoknya, kalau boleh tahu?" Huan terlihat semakin penasaran.
"Gimana ya, deskripsiin dia? Dia suka berbuat sesuka hati, tapi bagiku dia malaikatku. Dia juga menolong orang-orang lansia, anak-anak, bahkan kucing garong yang masuk ke kali sekali pun. Kalau aku kebetulan kena tilang, aku bisa meneleponnya kapan pun. Dia juga yang mengajariku naik motor dan sering meminjamkan motor padaku." Hara tersenyum mengingat memori lama yang tak menyenangkan. Kemudian, ia mengangkat satu tangannya. "Oh, bahkan Om Bayu selalu memberiku sarung tangan setiap ulang tahunku tiba. Contohnya yang sedang aku pakai sekarang,"
"Sampai sekarang aku penasaran, kenapa kamu selalu memakai sarung tangan?" Huan bertanya hati-hati agar tidak menyinggung perasaaan Hara.
"Kasih tau gak, ya?" Sempat Hara menggoda agar teman minum tehnya penasaran. Sedetik kemudian Hara mengangguk cepat. "Baiklah, aku akan memberitahumu, tapi rahasia di antara kita berdua saja, ya. Janji?"
"Janji. Aku bahkan tidak punya teman ngobrol selain kamu." Huan mengangguk cepat.