Beristirahat dalam Damai
Sabrina Liedarto
Bandung, 18 April 1952 – Bandung, 1 Agustus 1973
Akhir dari pencarian jejak perempuan dalam potret yang Jian temukan berakhir di makam TPU Kembangan. Nama saudara kembar Jingga terukir di batu granit yang terlihat kusam. Rumput liar kering kerontang menghiasi permukaan tanah makam.
Langit biru masih tersenyum cerah walau teriknya matahari mulai menusuk ubun-ubun Bayu. Entah harus merasa lega menemukan jawaban untuk Jian atau ikut berduka. Angin sepoi-sepoi untungnya tidak berhasil membuat Bayu goyah dengan hasil akhirnya.
Setelah memandang lama nisan Sabrina dalam sekian menit, Bayu memperhatikan gerak-gerik Jingga duduk di samping makam. Perlahan mengusap permukaan rumput menguning, lalu mengusap permukaan nisan.
"Ina, apa kabar? Maaf ya, kakak baru datang menyapamu lagi setelah merayakan ulang tahunmu dua tahun lalu. Biasalah, ngurus anak bimbingan dan kerjaan di kampus," ucap Jingga mengajak nisan Sabrina berbincang. Kemudian, Jingga melirik Bayu sejenak.
"Hari ini kakak bawa kenalan. Namanya, Bayu, dia mencarimu berbulan-bulan demi memberi kabar untuk Jian kecil kita."
Tak ada jawaban selain embusan angin berbisik di sela-sela rambut Jingga. Alih-alih menabur kembang dari sekantung bunga tujuh rupa di atas makam, helaan napas berat keluar dari bibir perempuan paruh baya itu.
Bayu memperhatikan jari jemari Jingga mencengkram rumput. Siapa pun yang datang, bahkan burung-burung melintasi langit mampu melihat sisi rapuhnya.
Ia berkaca pada masa lalunya. Kala berduka akan kepergian orang tuanya, Bayu merasa dunianya telah runtuh kedua kalinya di masa berbeda—ayah meninggal ketika SMP, sementara Ibu meninggal saat masa pendidikannya di akademi kepolisian.
Namun, ibunda Bayu juga berpesan untuk tidak larut dengan kepergian ayah pun dirinya sendiri. Juga tentang mimpinya yang harus dicapai dan hidup bersama orang yang Bayu cintai. Sehingga, saat Bayu mengalami masa-masa sulit semasa melajang, ia menyempatkan diri duduk di antara dua gundukan rumah orang tuanya. Menyapa seraya membersihkan rumput liar dan menabur bunga. Kemudian, tercenung menatap langit biru.
Bayu beralih ke seberang Jingga. Ia berjongkok, lalu menaruh bukunya di dekat nisan. Tangannya bergegas mencabuti rumput-rumput kering dari tepi bawah nisan tanpa izin Jingga.
"Siang, Nona Sabrina. Saya Bayu, teman berbicara adik ipar Anda. Kami membicarakan banyak hal, termasuk pencarian jejak Anda. Kadang, saya membantunya menjaga toko bunga jika ada waktu luang." Bayu ikut menyapa sembari mencabut rumput kering.
Sempat Bayu melirik reaksi Jingga, jika saja perempuan itu tak suka dirinya 'mengakrabkan diri'. Ternyata tak ada tindakan menyela aktivitas Bayu. Hanya menunduk, menyembunyikan wajah di balik helai-helai rambut.
Kembali ia lanjutkannya percakapan lain dengan nisan Sabrina, "Koh Jian memiliki toko bunga yang searah dengan rumah makan suami Anda. Banyak sekali perempuan yang sengaja datang ke toko bunga-nya. Sifatnya yang kaku, kikuk, dan selalu menolak segala bentuk ajakan kencan perempuan-perempuan cantik itu, padahal saya sudah mengatakan ambil saja kesempatan itu karena Koh Jian cukup rupawan ...."
Begitulah Bayu mengisi jarak Jingga dan Sabrina bersama kisah-kisah yang mengalir membahas Jian. Barulah lima menit kemudian, pemakaman telah bersih dari rumput kering. Jingga dapat menabur bunga sekaligus menyiram sebotol air yang telah dibelinya.
+++
Seusai membersihkan makam Sabrina, Jingga dan Bayu duduk sejenak di pos kecil di seberang komplek TPU. Jingga membakar sebatang rokok dengan meminjam korek api Bayu. Sementara sang empu korek api memilih menatap aspal berdebu. Melihat bayangannya semakin tinggi, ia memandang jauh perjalanannya hari ini.
"Tidak merokok?" tanya Jingga sembari mengisap rokok, lalu membuang asapnya dari celah bibirnya.
"Saya sudah berhenti sejak menikah," jawab Bayu sopan. "Demi calon anak dan istri saya awalnya. Sisi positif lain, setiap saya ingat beli rokok, saya langsung masukkan ke dalam celengan ayam khusus anak saya. Katanya istri saya juga, merokok membatalkan puasa."
"Cintamu besar sekali, tak seperti mantan suamiku bahkan Sabrina sendiri," puji Jingga, matanya tertuju memandang rumput liar menjulang tinggi melewati pagar pemakaman. "Tidakkah kamu penasaran bagaimana saudaraku meninggal?"
Bayu menoleh, tak terlintas dalam benaknya tentang sebuah alasan kakak ipar Jian berpulang. "Apakah kepergian Sabrina ada hubungannya dengan Koh Jian dan kakaknya?"
"Tentu ada." Jingga terkekeh sambil mengisap rokoknya lagi. "Saat diperjalanan menuju kemari, kamu mendapatkan cerita tentang Lian diselingkuhi istrinya alias Sabrina. Benar?"
"Ya, Koh Lian memergoki istrinya selingkuh di hotel saat beli kue ultah. Apakah itu benar, Nona Jingga?"
Jingga terkekeh sejenak. "Ternyata orang brengsek itu cukup lihai berbohong." Jingga mengangguk kecil. "Sabrina tidak pernah berselingkuh. Dia dibunuh oleh suaminya sendiri. Jian adalah saksi matanya."
Punggung Bayu langsung tegap. Ia tak percaya dengan telinganya sendiri. "Maksud Anda, Sabrina dibunuh oleh ... Koh Lian?"