Sima telah datang membantu Jian sejak jam 10 pagi. Waktu bergulir dengan cepat sampai jam 12.30 siang. Kedatangannya mempermudah Jian melakukan bersih-bersih sekaligus dekorasi rumah makan sesuai janji dua hari lalu.
Tidak ada dekorasi istimewa untuk merayakan Imlek tahun macan di rumah makan Seribu Teratai esok hari. Hanya bunga imitasi, lampion mini, dan menggelar taplak di setiap meja bernuansa merah.
Walau gunting tidak diperbolehkan saat Imlek, pantangan itu Jian katakan tidak berlaku untuk Sima. Dia memperbolehkan Sima membuat prakarya bunga dari kertas krep. Hasilnya cukup memuaskan.
Sementara Jian melakukan bersih-bersih seraya menjaga rumah makan, sejak pagi diberi papan "Tutup Sementara, Besok Buka" sesuai perintah kakaknya. Sejak fajar menyingsing, Lian sudah melakukan pekerjaan kotor di rubanah. Katanya, saat usai menyelesaikan pekerjaannya, ia akan memasak makan malam untuk Sima yang ikut menjaga rumah makan.
Begitulah kakaknya yang tak peduli pantangan menyentuh alat tajam sesuai ajaran leluhur, sebab dirinya pun bagi Jian adalah pantangan hidup itu sendiri.
Kini, Jian membersihkan piring-piring pajangan dekorasi rumah makan yang berdebu. Jari jemari sengaja meraba permukaan porselen untuk mengikuti motif bunga dan sulur. Kemudian, ia sesekali melirik pantulan Sima dari meja lain. Duduk manis membuat bunga krep dalam satu vas yang dipinjamkan Jian. Bersenandung sesuka hati mewakili suasana hati yang cerah, seperti teriknya matahari di luar rumah makan.
Betapa mempesona di matanya. Lebih berkilau dari seluruh tumpukan piring yang telah dibersihkan. Bolehkah ia merasa iri kepada teman berbincangnya yang dapat melihat kecantikan Sima setiap terbangun?
Ah, kalau dipikirkan kembali, suami Sima lebih iri padanya. Adakalanya ketika Bayu datang untuk mampir atau ikut menjaga toko bunga selalu mengeluarkan kartu iri hati, "Wajah setampan kamu tidak boleh disia-siakan. Ayolah, waktunya berkencan!"
Setidaknya, ia memiliki keunggulan diri yang dapat menghibur hatinya. Walau rasa kagum kepada Sima belum sirna sejak pandangan pertama.
Waktu membersihkan piring telah habis. Dering notifikasi di saku Jian menyadarkan lamunan singkatnya. Ia mengambilnya tanpa menebak siapa yang mengirim pesan.
[Message from Teman.]
[Informanku mengenal Sabrina. Segera hubungi aku jika sudah melihat pesan ini.]
Inilah jawaban yang dinantikan Jian.
Bayu memang mengatakan pagi ini akan bertemu informan yang mengetahui keberadaan potret 'Sabrina'. Jian menduga-duga banyak kemungkinan cerita dari informan Bayu, hatinya berdegup kencang.
Namun, sebelum menelepon, ia harus pergi ke tempat yang sepi. Jadi, lebih baik dia menitipkan rumah makan kepada Sima.
"Sima, aku mau pergi dulu mengambil kue bulan. Bisakah kamu menjaga rumah makan sebentar?"
Sima yang baru selesai menata bunga hiasnya merespon, "Kue bulannya sudah Koh Jian pesankan? Aku kira beli jadi hari ini."
"Sudah, kemarin subuh aku pesan di kios makanan dekat toko bungaku. Kue bulan kios itu biasa cepat habis, jadilah aku memesannya kemarin. Hari ini aku mau mengambilnya. Maaf lupa mengabarkan Sima."
"Oh, begitu rupanya." Sima mengangguk paham, lalu bangkit membereskan perkakas prakarya agar lebih bersih.
"Biar aku saja yang mengambilnya, Koh."
"Tidak perlu, Sima," Jian buru-buru menumpuk empat piring hias di atas meja. Niatnya piring-piring itu akan menghiasi rak dekorasi dinding. "Sudah cukup kamu banyak membantuku. Kamu sedang hamil besar, tidak boleh kelelahan—"
"Jalan-jalan kecil tidak membuatku kelelahan, kok. Jaraknya 'kan, tidak terlalu jauh, Koh. Aku masih kuat," ucap Sima memamerkan senyum manisnya bagai bulan sabit. "Kios makanannya yang ada logo naga hijau itu?"
Jian ragu. Tak ingin membuat Sima kesusahan apalagi kelelahan mengambil kue bulan, dalih sempurna yang direncanakan Jian sejak kemarin demi menjawab panggilan rahasia. Namun, ia sudah tidak sabar mengetahui kisah informan Bayu. Jari jemari gatal menekan tombol dial. Mungkin, tidak apa membiarkan Sima menjauh sebentar. Jian mengangguk kecil dengan terpaksa.
"Baiklah." Jian mengeluarkan dua lembar Rp10.000 rupiah kepada Sima dari saku celana kain panjangnya. Namun, perempuan itu sedikit kebingungan.
"Koh, sepertinya ini kelebihan. Apakah kue bulan pesanan Koh Jian harganya semahal ini?"
"Kebetulan aku memesan dua paket untuk diberikan kepada seluruh pelanggan. Kembaliannya bisa kamu gunakan beli kue bulan atau camilan lain untuk dirimu dan Bayu. Siapa tahu, anakmu ingin mencoba kue bulan juga."
Jian meyakinkan Sima agar tidak merasa enak memegang uang bernilai besar itu kepadanya. Walau sudut bibirnya terlihat kaku tersenyum, dia setulus hati ingin membiarkan Sima menghabiskan uangnya demi menyenangkan diri sendiri.
"Benarkah?" Pertanyaan Sima direspon anggukan Jian.
"Belilah makanan ringan sebanyaknya."
Bagai anak kecil mendapatkan permen, Sima semakin tersenyum lebar. "Terima kasih, Koh Jian!" Kemudian, ia bergegas mengambil tas kecilnya. Beban di perut membuat pergerakan agak sedikit lamban, tetapi tentu tidak menghentikan Sima menuju destinasi pesanan kue bulan Jian.
"Kami pergi dulu, Koh!" Sima melambai kecil sebelum merunduk melewati rolling door merah rumah makan yang terbuka setengah pintu.
Memastikan Sima telah pergi, Jian melakukan panggilan kepada [Teman]. Dering ketiga tersambung, seseorang mengangkat teleponnya.
"Halo, Bayu? Benar informan yang kamu temui mengetahui Sabrina? Siapakah dia?"
Rentetan pertanyaan memburu Bayu di seberang. Bayu tidak langsung menjawab, hanya deru napas halus menyapa telinga Jian.
[Ingin dengar kabar baik atau kabar buruk dulu?]