Cawan Kosong

Celica Yuzi
Chapter #19

14 | MANGSA TERPERANGKAP

Sudah sepuluh menit berlalu Lim pergi menghubungi Om Bayu di belakang rumah makan, Selagi sepupunya pergi, Wira selalu memantau Hara. Sembunyi-sembunyi merekam tingkah laku Hara yang terlihat mabuk, ia kebingungan melihat keceriaan Hara membludak.

Wira ingin sekali menghentikan Hara minum teh. Merasa bersalah melihat pipi Hara makin merah merona. Sayangnya, ia harus tetap di tempat. Bertanya kapan Hara akan pulang terasa sulit. Tidak lain sebab peristiwa dihampiri cucu Engkong Lian dan Hara beberapa waktu yang lalu membekas di ingatan. Sungguh pengalaman menegangkan.

Cucu Engkong Lian, Huan namanya, sempat pergi ke belakang. Wira mencuri dengar selagi berpura-pura menonton video, katanya ingin pergi ke kamar mandi. Entah kamar mandi mana yang Huan kunjungi. Rumah makan Seribu Teratai memiliki dua kamar mandi, ada yang berada di dekat gudang dan akses pintu belakang, ada pula kamar mandi bersebelahan dengan dapur.

Ia tidak berpikir macam-macam kala Huan kembali ke tempat duduknya. Kemudian, pamit sebentar kepada Hara mengambil suatu barang di mobilnya.

Ketika hanya Wira dan Hara di ruangan tersebut, hawa dingin semakin menusuk-nusuk setiap inci kulitnya. Dua tangannya mengeratkan kemeja flanel, tetapi terlihat sia-sia.

"Dingin banget! Nyesel gak nurut Ci Maya pakai jaket," keluhnya.

Sejenak ia menoleh ke jendela. Malam masih bertirai rintik, Wira tak yakin hujan akan berhenti sampai pagi buta. Gemuruh menyetujui firasatnya setelah berkumandang di langit sekian detik.

"Lama amat si Lim. Gak kedinginan emangnya di luar terus," gumamnya bertanya-tanya. Hatinya resah menanti sang sepupu kembali.

Terdengar pintu belakang rumah terbuka. Langkah ringan nan terburu-buru memasuki ruang makan. Wira yang bersandar di dinding langsung berpura-pura menonton video berita terkini. Tidak terlalu yakin jika yang kembali datang adalah sepupunya. Bisa jadi Huan memilih jalan memutar ke belakang susah payah.

"Koh Wira!"

Tibalah Lim yang memanggilnya panik, si pemilik nama terkejut sampai mengusap dada.

"Hei, kenapa kamu panik begini? Bikin aku takut saja!"

Tanpa alasan jelas, Lim meremas pundak Wira harap cemas. "Koh Wira gak apa-apa?"

"Aku baik-baik aja." Wira memindai dari ujung sandal kotor Lim sampai yang tak dapat diartikan. Dahi Wira mengernyit. Hatinya berkata, ada yang aneh dengan sikap Lim. "Kenapa emangnya?"

"Serius? Beneran gak di apa-apain sama Koh Huan?" tanya Lim sekian kali, tangannya mulai meraba-raba lengan Wira hingga berkali-kali memutar tubuhnya beberapa derajat ke kanan dan kiri.

"Berhenti! Duduk dulu bisa, 'kan? Jelasin pelan-pelan!" Wira berhasil menangkap dua tangan Lim agar dia menghentikan aksinya. "Pertanyaanmu aneh banget, tau gak? Aku gak apa-apa dan aku gak ngobrol sama sekali sama cucunya Engkong—"

Desis bibir Lim memberi isyarat agar tidak berbicara dahulu. Tolah-toleh ke belakang dan samping, Lim baru menyadari Huan tidak berada di ruangan ini. Hanya Hara yang masih menggenjreng gitar sesuka hati.

Wira sadar ada yang tidak beres. Firasat tidak menyenangkan masuk ke lubuk hati. Gelisah tanpa alasan, takut melihat keberadaan Huan seolah mencuri sesuatu, hingga tak bisa berbicara dengan suara normal, maka ada satu alasan pasti.

"Jangan bilang, kalian berpapasan?"

Kegugupan Lim kentara lebih jelas. Gelagat dan ekspresi kegelisahan Lim tak bisa menunjukkan kebohongan, tetapi ketakutan akibat penekanan.

"Beneran kalian berpapasan? Dia melakukan apa padamu?"

Kini, Lim duduk di tempatnya dengan hati tak tenang. Sebelum berbicara, dia mengambil gelas air miliknya dan meneguk sampai habis. Kemudian, mengusap sudut bibir yang basah.

"Kami memang sempat berpapasan, tapi aku gak apa-apa, Koh. Masih bisa aku atasi."

Begitulah jawaban Lim, tetapi sebagai sepupu dalam satu lingkungan dan tumbuh bersama, tentu Wira tak mempercayainya.

"Maksudmu bilang gak apa-apa itu gimana? Gak mungkin kamu ketakutan begini kecuali nonton film horor—"

"Memang agak horor," Lim menghelas napas, lalu mendesah panjang tak bersuara. "Kejadiannya begitu cepat dan cukup menakutkan. Aku lagi menghubungi Om Bayu, tiba-tiba dia datang."

"Dia tahu kamu lagi telponan sama Om Bayu?!" Wira terperanjat, tetapi Lim tidak memberi kesempatan mengeluarkan reaksi lain. Dia mendesis, menaruh telunjuk di bibirnya sendiri.

"Ssst! Pelan-pelan ngomongnya, Koh!"

"Gimana aku bisa ngomong pelan-pelan kalau keselamatanmu—"

"Aku jelaskan nanti, Koh. Janji!" Lim langsung merapikan kartu warna-warni solid yang tercecer di meja. Tangannya lihai mengocok deck selama lima kali, lalu membagikan lima buah kartu. "Sekarang kita pantau dulu situasinya, oke? Kita pastikan Cici Hara tetap aman sampai Om Bayu kemari."

Baru ingin membuka mulut lagi, Wira langsung mengurungkan niatnya. Huan telah kembali membawa sapu tangan. Langkah sepatunya meninggalkan jejak basah sepanjang jalan menuju tempatnya minum teh bersama Hara.

Mau tak mau Wira menuruti kemauan Lim yang mencari situasi aman. Setidaknya untuk sementara.

+++

"Apakah kamu mengikuti berita kasus Putri Tidur? Aku melihat perkembangan kasusnya di Yutub saat baru sampai di sini."

Hara membuka percakapan setelah Huan menjerang teh kembali. Setelah bersenang-senang, awan mendung menyelimuti hatinya. Gitar duduk di kursi sebelahnya. Tangan kanannya menopang sisi kepala di meja. Perasaannya terpantul pada riak wajahnya yang merona.

"Ya, aku tahu berita itu. Mengerikan sekali," aku Huan, lalu mengangguk setuju saat mengisi ulang teh Hara dan cawan miliknya sendiri.

"Kira-kira ...." Hara menatap pantulan diri pada permukaan teh. "Apa yang membuat pelaku kesal sehingga ... tega menghabisi nyawa para perempuan itu dengan kejam?"

"Apakah salah satu di antara mereka adalah kerabatmu?"

"Aku gak kenal mereka, tapi sebagai sesama perempuan, siapa yang gak merasa sedih? Di sisi lain, melihat kasus itu mengingatkanku alasan Om Bayu masih menangani kasus-kasus serupa."

Lihat selengkapnya