Kepanikan merongrong isi kepala Bayu.
Untuk pertama kalinya, pemuda 25 tahun itu berpacu mengejar waktu. Tidak ada kata berhenti dalam kamus Bayu melepas stir motor. Selama membelah keheningan malam, rapalan doa dalam hati menemani perjalanan menuju rumah sakit.
"Aku mohon, aku mohon, aku mohon .... Bertahanlah demi aku, Sima!"
Ini semua berawal dari kabar yang ia terima di kantor sepuluh menit yang lalu. Istrinya tengah menjalani persalinan di luar jadwal yang diperkirakan. Keadaan genting itu seharusnya Bayu ketahui secepatnya jika saja dia tidak dipanggil ke kantor kepolisian.
Jingga menurunkan Bayu di halte depan kantor kepolisian di tengah teriknya matahari di atas jam 1 siang. Alasannya sederhana. Bayu tidak ingin wajah Jingga dikenali oleh para polisi yang bisa saja mengenalnya dalam sekali lirik.
Bayu menduga dipanggilnya Kasat Reskrim yang sering dipanggil seluruh anggota Bos itu adalah kesempatan baik melaporkan penemuannya. Setelah melapor dan menerima perintah selanjutnya, Bayu akan menyusul Sima ke Seribu Teratai.
Namun, dia tidak menyangka bila pergi ke kantor akan menyita waktunya lebih lama. Bos menjengkelkan tak tahu malu itu menolak niat Bayu melapor. Katanya, "Nanti saja, sekarang urus yang ini dulu."
Mengurus yang ini dulu rupanya tumpukan berkas laporan perempuan di seluruh Jakarta yang menghilang. Kata 'prioritas' pun ditekankan saat Bayu menerima dua kardus yang diangkut dari bagasi mobil polisi dari Zaidan. Rekan terbaiknya itu baru saja kembali setelah menyusuri berbagai sektor.
Bayu cukup yakin jika bagian tugasnya mengambil berkas laporan perempuan hilang sudah selesai. Dia sendiri yang melapor kepada Bos jika mengambil berkas tersebut hanya 'sekian' dan tidak ada tambahan. Namun, dia kebingungan bagaimana berkas laporan orang hilang bisa mencapai empat kardus.
Bayu masih berpikir jika kedatangan berkas-berkas ini masalah serius. Siapa yang bisa menebak diantara berkas ini adalah calon korban dari kejahatan berencana Lian. Mau tidak mau, Bayu menurut dan membantu Zaidan mengangkut dua dus yang katanya berasal dari Utara dan Selatan.
Duduk di meja kerja tanpa berhenti menyortir berkas dokumen, menguap menahan dahaga disela membolak-balik halaman, dan menanti dering telepon genggam di saku celana. Peluh menetes membasahi kerah, bibir hanya menghela panjang saat dengan mata mulai pedas.
Bayu tak menyangka waktunya masih tersita sampai azan Maghrib berkumandang. Berbuka puasa hari itu terasa tak nikmat walau tiba-tiba saja ada agenda buka puasa bersama di kantor. Bos mengadakannya atas izin Kapolsek yang berharap penuh menyelesaikan kasus yang sedang berjalan kepada seluruh tim.
Bayu berpikir setelah menyortir dokumen hingga melewatkan waktu ibadah tarawih, ia bisa menjemput Sima di rumah makan. Akan tetapi, Bayu dan rekannya tiba-tiba digeret untuk mengisi sif dadakan atas permintaan petugas lain yang kewalahan. Tentunya, mereka bilang Bos sudah mengizinkan dua anak buahnya membantu pekerjaan mereka.
Bayu merasa nyawanya tinggal setengah. Menangani geng bertato yang diciduk akibat perjudian dan balap liar menguras tenaganya. Tak heran dia sampai ingin pingsan karena berkali-kali memukul meja, memarahi para geng bertato, hingga melerai yang berkelahi.
Tiada henti sif itu berlangsung sampai waktu bergulir pukul 00.15 malam. Bayu baru menarik napas lega setelah ruang terasa hening. Ketika matanya ingin terpejam seraya bersandar di kursi,ponsel baru terasa bergetar dengan nada dering default di saku celana. Sekian jam demi jam berlalu, nama Jian baru menelpon kembali dan memantik jiwa dan raga Bayu kembali duduk tegak.
"Halo, Koh."
[Bayu, aku minta maaf baru bisa mengabari. Sekarang Koh Lian sedang pergi, jadi aku akan menyampaikan kabar ini secepatnya ....]
Selama mendengar penuturan Jian, Bayu terpaku di tempat. Semua informasi mengalir tanpa Bayu disela.
Kesimpulan yang didapatkan dalam durasi 3 menit adalah Sima mengalami kontraksi hingga ketuban pecah. Tidak lain akibat mendengar pertengkaran Jian dan Lian ketika kembali datang mengambil kue bulan. Sima langsung dibawa ke rumah sakit secepatnya sejak jam 1 siang.
Tanpa Bayu bertanya juga, Jian memberikan jawaban mengapa ia telat menghubungi. Lian mengawasi, mengatakan tidak perlu menghubungi Bayu terburu-buru. Setelah telepon berakhir, tanpa ragu Bayu beranjak meninggalkan kantor. Kebetulan ia berpapasan dengan Zaidan yang baru memarkir motor Honda S90Z, motor khusus bertugas para polisi berpatroli.
"Bayu, kenapa kamu terburu-buru begitu?" tanya Zaidan selepas melepas helm dan mengangkat dua paket makan malam. "Ini sudah aku belikan makan untuk sahur—"
"Pinjam motornya sebentar!"
Bayu merebut kunci motor di tangan Zaidan, memakai helm, lalu memanaskan motor hingga melesat keluar dari halaman kantor polisi. Mengabaikan Zaidan yang bertanya-tanya ada apa gerangan.
Sial, sial, sial!
Demikianlah dia berada di kemudi dan mengumpat frustasi. Jika dipikir-pikir sepanjang perjalanan, kesibukan dan jam terjadinya Sima dibawa ke rumah sakit terasa beriringan. Seolah perannya hari ini sengaja dipermainkan oleh seorang dalang.
Mau mengumpat berkali-kali tak akan mengubah kenyataan. Bayu terjebak dalam permainan waktu yang telah diatur. Ia meyakini dibalik semua kejadian ini adalah Lian. Pria tua yang pandai berbohong dan mengatur segalanya, licik seperti rubah, persis dengan terkaan Jingga.