Cawan Kosong

Celica Yuzi
Chapter #21

15 | LAHIRNYA ANCAMAN BARU [2]

Buah hati Bayu dan Sima berjenis kelamin perempuan. Sang ayah tak bisa menggendongnya dahulu sebab anaknya dalam kondisi lemah dan terlahir prematur. Dokter menyarankan untuk dirawat dalam dalam inkubator dahulu. Sementara istrinya telah dibawa ke kamar rawat inap VIP atas permintaan Jian.

Jian ingin bertanggung jawab penuh mengurus biaya persalinan hingga rawat inap. Mau tidak mau Bayu tak bisa menolak atau pun mengelak.

Waktu telah berlalu, pukul 01.50 WIB telah tiba. Dia tidak melihat sosok Lian lagi setelah dibawa pergi untuk diobati. Jian pergi mengurus proses administrasi sejak setengah jam yang lalu. Kini ia sendirian.

Bayu tak sanggup berdiri lagi setelah energi terkuras habis. Untunglah dia masih bisa mengawasi anaknya yang terlelap dalam inkubator di kursi tunggu. Duduk mengawasi anak semata wayangnya hanya membutuhkan tenaga menggerakan mata dan kepala. Area punggung tangan Bayu yang memar telah diobati atas saran Jian—biaya pengobatan mendadak ini pun ditanggung—berkali-kali diusap jemari kiri.

Perasaannya di tengah pagi buta masih campur aduk. Tidak bisa dideskripsikan untuk mengatakan bahagia, juga tidak mudah menghilangkan kalut yang bergelayut di batin. Segala hal terjadi dalam satu waktu di penghujung Ramadhan pertamanya bersama sang istri.

Seandainya saja dia langsung pergi menjemput Sima. Seandainya saja dia tidak ke kantor untuk melapor proses pencarian kasus mengerikan ini. Seandainya saja dia langsung pergi setelah berbuka bersama.

Seandainya dia membunuh Lian di tempat, apakah ada yang berubah?

"Bayu, maaf menunggu lama."

Mata berkedip-kedip cepat. Dia tidak menyadari Jian telah kembali dan berdiri di hadapannya.

"Koh Jian." Bayu mengucek matanya yang sedikit berair. Sepertinya, ia terlalu lama melamun atau tertidur dengan mata terbuka. Entahlah, dia benar-benar tidak ingat.

"Aku bawakan minum dan makanan untukmu sahur."

Sebelum menerima, Bayu menatap wajah lawan bicaranya yang babak belur, lalu turun melihat paper bag berisi makanan dan sebotol air mineral di tangan Jian. Rasanya baru hari kemarin dia mengenal pria berumur 30 tahun yang sempurna tanpa cela. Sekarang, yang terlihat di matanya adalah pria berumur 31 tahun yang terlihat kuyu dan tak berdaya.

Kebaikan yang dilakukan Jian di mata Bayu sekarang menjadi abu-abu. Perasaan bimbang menggedor nurani. Ingin mengenyampingkan urusan yang berlalu, tetapi fakta mengerikan telah terungkap.

Pelaku. Tersangka. Korban.

Tiga kata kunci yang belum bisa Bayu tetapkan pada Chandra Kusuma. Posisi Jian dalam pikirannya tengan terombang-ambing di situasi serba salah. Kondisinya tak kalah memprihatinkan dibandingkan apa yang Bayu alami sekarang.

"Sepertinya Koh Jian yang paling membutuhkan makanan ini. Aku bisa beli makananku sendiri." Bayu menolak halus. Bernegosiasi agar Jian mementingkan dirinya sendiri. Merasa tak enak hati pula telah banyak merogoh isi dompet demi melunasi biaya administrasi rumah sakit.

Akan tetapi, Jian memilih menaruh paper bag di samping Bayu. Mengambil botol mineral tanpa kata, kemudian memutar segel tutup botolnya dalam sekali putaran. "Tidak menerima penolakan. Kamu harus isi ulang energimu untuk puasa terakhir hari ini. Setidaknya, demi merawat Sima dan anakmu."

Perkataan Jian selalu tepat. Demi merawat istrinya. Demi menjaga buah hatinya yang baru menyapa dunia. Hati kecilnya bersilang pendapat.

"Kamu sengaja membuatku berhutang budi demi keringanan hukum untukmu dan kakakmu?"

Ucapan Bayu terdengar menyindir. Mengabaikan botol mineral yang telah dibuka Jian. Dia memindai sudut pandangnya tentang Jian untuk sekian kali. Otaknya mengkalkulasi jika kebaikan Jian bisa saja manipulasi.

"Akulah yang banyak berhutang budi padamu," balas Jian tersenyum tipis. "Berkatmu, aku dapat mengetahui kebenaran di balik rasa sesakku mengikuti semua perintah kakakku."

Kemudian, Jian tertunduk malu. "Aku sungguh minta maaf atas segala kekacauan yang terjadi hari ini. Aku tidak akan menyangkal jika semua yang terjadi saat ini karena keegoisanku mencari tahun tentang Sabrina." Jian menghela napas pelan, tak berani menatap Bayu. "Aku minta maaf. Aku tak bermaksud mencelakai Sima maupun anakmu."

"Aku mengerti," ujar Bayu melihat kembali pemandangan dalam ruang NICU"Ini sepenuhnya bukan salahmu. Namun, rasanya aku pun tak bisa lagi memercayaimu, Koh Jian."

"Aku tahu." Jian mengangguk pelan. "Setelah mengetahui fakta tentang kami yang sudah banyak melakukan kejahatan tersembunyi, sudah seharusnya kamu dan keluargamu menjauh dari kami, bahkan kamu bisa segera menangkapku sekarang juga."

Tangan Bayu terkepal kuat. Jian terlihat pasrah. Namun, ia tak ingin gegabah. Bayu mendadak teringat dengan foto pemberian Jingga. Tangannya menelusuri isi kantong celana kanan. Syukurlah foto itu masih ada.

"Berikan kepada Jian jika kamu percaya dia tak akan melukai siapa pun. Jika ragu, bakar saja. Biarlah anak itu tak pernah mengingat seseorang yang menyayanginya."

Mungkin inilah waktu yang tepat untuk menguji melalui hutang penjelasan yang ia minta sejak beberapa waktu yang lalu.

"Tidak secepat itu. Kecuali memberikan bukti keterlibatan kamu dan kakakmu dalam kasus ini, serta alasan kuat untuk segera menangkapmu." Bayu berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan mendekati dinding berkaca transparan ruang NICU. Menatap kondisi anaknya sekali lagi, lalu menatap pantulan samar punggung belakang Jian di kaca.

"Sekarang, tepati janjimu yang akan menjelaskan semuanya. Entah apa yang kalian lakukan selama ini, korban kalian, bahkan dirimu sendiri." Bayu telah melempar umpan untuk Jian. Dia meyakini tidak ada ada Lian yang akan merecoki mereka. Jika tiba-tiba datang, Bayu akan putar otak mencari kesempatan lain.

Lihat selengkapnya