Ketukan sepatu bak detik berlalu mengisi kesunyian ruang tamu. Gema yang berasal dari irama kecemasan Om Bayu selama memandang layar ponselnya yang redup—juga memantulkan bayang kegeraman yang tercetak di air muka. Pembuluh darah menegang di permukaan kulit leher. Jika tak menyayangi ponselnya sendiri, tangan Om Bayu dapat beralih melempar benda pipih itu ke dinding.
Sudah lama ia tidak merasa segelisah ini. Telepon Lim dimatikan sepihak oleh sosok yang tidak ingin disebutkan lidahnya sekarang. Mati-matian menahan diri tidak merusak fasilitas rumah rekan kerja lamanya. Perasaan khawatir dengan Lim maupun Hara tidak kunjung reda. Ia tidak yakin berapa lama lagi akan menunggu balasan pesan yang terkirim 20 menit lalu.
“Bayu, tenangkan dirimu dulu. Kamu tidak lelah hanya berdiri dan menatap ponselmu?” tanya Bu Nia, sang tuan rumah memandangi Om Bayu resah di sofa tunggal. Rambut pendek di bawah telinga yang beruban menandakan dirinya telah berumur panjang. Sayangnya Om Bayu tidak merespons.
“Mari duduk lagi. Kita diskusikan hal ini bersama-sama.”
Dua panggilan dari Bu Nia, tidak ada respons baik, melainkan helaan napas kekhawatiran.
“Bayu memandangi ponselmu saja tidak akan mengubah situasi apapun.”
“Apakah sekarang saya terlihat bisa duduk tenang, Bu Nia?” Om Bayu akhirnya merespons dingin. Matanya yang sedari tadi melirik dinding dan layar bergantian beralih menatap Bu Nia. “Saya rasa Bu Nia tidak bodoh untuk menilai ucapan anak kurang ajar itu dari loudspeaker.”
“Saya tahu betul dengan isi pikiran dan hatimu. Bukan satu tahun kita mengenal. Sudah puluhan tahun kita bekerja sama dan menangani berbagai kasus. Apa kamu sendiri sadar, sekarang kamu telah terpancing provokasinya?” Bu Nia masih memperingati Om Bayu dengan tegas.
“Saya juga tidak bodoh jika anak kurang ajar itu sengaja memancing saya. Akan tetapi, membahayakan anak-anak tidak berdosa sudah tidak bisa saya toleransi lagi. Terutama pada anak yang selama ini saya rawat dan saya lindungi.” Om Bayu mengutarakan kekhawatirannya agar Bu Nia memahami situasi saat ini. Ia mengangkat ponselnya ke udara lebih tinggi.
“Sejak kehilangan orang terpenting dalam hidup saya, saya tidak ragu lagi mengikuti petanda atau firasat sekecil apa pun itu. Perasaan yang saya rasakan kali ini sama persis dengan 25 tahun yang lalu. Bu Nia pasti mengerti maksud saya!”
“Saya paham. Lebih dari paham.” Bu Nia masih berusaha menenangkannya. “Kamu ingat janjimu kepada saya untuk menyelesaikan kasus ini? Jangan bergerak sendirian. Untuk menjebloskan penjahat, kita tetap butuh tim. Saya yakin kita masih punya waktu. Sekarang kita tunggu dulu kehadiran—”
“Harus berapa lama lagi saya menunggu?” Om Bayu memejamkan matanya sejenak. Menggenggam ponsel lebih kuat hingga rasanya akan terbelah dua. “Sudah cukup lama saya bersabar menangkap bajingan itu dan sekarang dia mati. Malam ini adalah kesempatan terakhir menangkap seorang cucu yang mewarisi kebiadabannya. Apakah Anda tidak merasa gelisah jika suatu hari anak kurang ajar itu melukai anak Anda sendiri?”
“Yang kamu katakan benar. Dia berbahaya dan bisa melukai keluarga saya. Tidak bisa saya pungkiri sifatnya akan diturunkan dari kakeknya berkat pengamatanmu setahun penuh. Saya juga tidak menyanggah karena analisis forensik dari anak saya, Rio, persis sekali dengan kasus kakeknya. Sekarang saya tanya, buat apa kamu menunda menangkapnya setelah kamu memiliki bukti yang kuat? Menangkapnya, tentu. Rencana menangkap anak itu tentu tidak bisa dilakukan sendiri. Kita butuh tim untuk menghadang, mengadili, bahkan untuk melengkapi bukti yang ada.”
Memilih diam adalah salah satu jawaban. Akan tetapi, Om Bayu menyadari tidak bisa terus diam untuk bersabar menanti terbentuknya tim sesuai rencana yang disinggung Bu Nia. Sebelum Bayu merespons, ponsel Bu Nia yang dibiarkan di atas meja menyala sendirinya. ‘Ario Nomor Baru’ tampil di layar pemanggil.
Dengan tenang Bu Nia mengangkat telepon anaknya dengan mode loudspeaker. “Halo, Nak. Kamu sudah berkoordinasi dengan anggota tim untuk kemari?”
[Sudah, Ma, tapi Rio sepertinya bakal terlambat untuk membawa tim ke rumah. Jalan simpang yang biasa kita lalui dekat rumah sakit sedang macet karena ada kecelakaan. Jadinya kami mau tidak mau akan berpindah jalur di jalur alternatif arahan polisi. Bagaimana dengan Pak Bayu, Ma? Beliau sudah ada di sana?]
Sudah kuduga.
Bayu telah menduga rencana yang disusun tidak semulus menaiki gunung. Dia kembali duduk di sofa yang tak jauh dari Bu Nia, lalu bersuara menjawab kegelisahan Rio.
“Kabari lebih lanjut jika sudah melewati jalur alternatif. Tunggu aba-aba saya jika ada perubahan lokasi.”
[Baik, Pak. Nanti saya akan kabari setelah kami keluar dari jalur kemacetan.]
Setelah sambungan telepon terputus, keheningan menyelimuti ruang tamu untuk sekian detik. Sang empu rumah mungkin juga tidak menyangka ada hambatan menjalankan misi bersama. “Maaf, saya pun tidak menduga hal ini terjadi. Kalau begitu, mari kita menunggu Zaidan dahulu sembari—”
Nada dering Madu dan Racun menyela ucapan Bu Nia. Tanpa basa-basi Om Bayu segera menjawab panggilan ‘Lim Kios Paket Pulsa’.
“Halo, gimana kondisinya sekarang?”
[Om, gawat! Aku dan Koh Wira diusir dari rumah makan!]
Kecemasannya ternyata tidak beralasan. Salah satu tangan mengusap wajah. Ia sedikit kewalahan mendengar kabar buruk beruntun.“Bagaimana dengan Hara? Kalian keluar bersamanya?”
[Sebelumnya kami berniat pulang bersama Cici Hara. T-tapi tiba-tiba aja Cici Hara pingsan, Om! Kami gak bisa bawa Cici Hara keluar karena Koh Huan menahannya. Dia bilang akan merawatnya, tapi aku ragu banget dia beneran rawat Cici Hara. Maaf banget, Om.]
“Ini bukan salah kalian. Sekarang kalian di mana?”
[Kami sekarang lagi di Pos Kamling area komplek kos Cici Hara, Om. Niatnya kami mau menunggu Koh Huan yang katanya akan mengantar Cici pulang, tapi entahlah, Om. Kami tidak yakin akan diantar jam berapa. Kami gak tau lagi harus berbuat apa buat sekarang ….]
Sudah puluhan kali ia menghadapi keputusasaan. Terasa sempit. Sesak. Ibarat setelah berlarian mencari jalan keluar, tiba-tiba berada di ujung tanduk. Musuh menghadang, pilihannya hanya dua. Menyerah menaikkan bendera putih atau lompat ke jurang antah berantah.
Bu Nia menyentuh pergelangan tangan Om Bayu lembut. Ekspresi wajah perempuan paruh baya itu mengatakan agar Om Bayu berhenti berpikir lebih keras. “Bayu, saya berpikir saat ini satu-satunya cara hanyalah menunggu Zaidan dan mendengar usulan rencananya. Siapa tahu, dia dapat mengarahkan tim cadangan yang pernah dibahasnya jauh hari?”