08.15 WIB — 11 Mei 1998
Bersama bayi dalam gendongannya, Sima dan suaminya mengikuti langkah penjaga rusun di sepanjang koridor lantai 3. Dia dapat melihat pemandangan jemuran yang tergantung di seberang gedung. Suara bising anak-anak bermain di lantai atas dapat terdengar sampai di telinganya. Orang-orang yang mereka lewati menyapa si penjaga rusun Giok Macan yang memandu paling depan.
Ada banyak kekhawatirannya yang tersimpan di kepalanya sejak hari kemarin Bayu mengajaknya pergi dari rumah. Dia menyampaikannya di meja makan sebelum Sima memulai satu suapan penuh.
Katanya, informan Sabrina sekaligus orang terdekat Jian telah tewas. Mengetahui hal ini, mau tidak mau suaminya berniat mengungsikan Sima dan anak mereka. Namun, hal yang paling tidak masuk akal adalah bahwa Jian menyediakan akomodasi tempat tinggal ini secara cuma-cuma.
Satu kalimat sederhana yang terlontar Sima hanyalah, “Gila ya, kamu?”
Baginya, memercayai ucapan orang yang terbukti menjadi kaki tangan penjahat adalah hal tergila yang paling gila dilakukan suaminya. Bahkan, Bayu sempat ingin berbohong mengenai akomodasi tempat tinggal sementara dari seorang ‘teman yang dikenalnya’.
Baginya, sudah cukup Bayu berbohong mengenai apa yang terjadi di kantornya. Dia tahu Bayu telah diturunkan pangkatnya akibat bertengkar dengan Lian. Jian—kaki tangan kakaknya sendiri—telah memprediksi saat menjenguk Sima pasca lahiran.
Kala itu Jian mengaku sambil bersimpuh. Mengatakan tentang pengaruh Lian di internal kepolisian yang mungkin saja akan membuat Bayu disingkirkan dalam tim. Sehingga Sima tidak heran melihat Bayu tiba-tiba pindah divisi—juga mengaku jika kinerjanya tidak bagus.
Namun, kali ini bukan hanya kegelisahan saja Sepercik kemarahan juga muncul di hatinya.
“Ini, kamarnya.” Ibu penjaga rusun Giok Macan keturunan Tionghoa itu akhirnya menunjukkan kamar nomor 15. Kunci langsung dimasukkan ke lubang pintu. Dua kali putaran saja, pintu pun terbuka lebar.
Kamar terlalu gelap. Ibu penjaga langsung masuk dan menyalakan lampu.
Hantaran listrik menghidupkan lampu led menggema sejenak di penjuru kamar. Berkedip-kedip menyesuaikan watt yang tersedia. Pundak Sima dirangkul Bayu masuk ke kamar duluan.
Kamar yang akan ditempati keluarga kecil Sima masih cukup layak ditempati. Walau tidak sebersih rumah mereka, untunglah masih ada kamar mandi dalam, lemari kayu dua pintu,, kasur bersarung bunga dahlia berukuran queen size, hingga radio.
Sima langsung menaruh bayinya di kasur. Membuka selimut bermotif titi nada hitam putih agar anak mereka dapat bernapas. Untunglah sang buah hati masih dapat tersenyum dan tenang.
“Ingat ya, jam sepuluh malam tidak boleh berisik. Kalau lapar, bisa masak di dapur umum di pojok sana,” ujar penjaga Rusun Giok. Sima menyimaknya tanpa mengalihkan pandangan dari buah hari. “Kalau malas keluar, bisa pesan makan aja ke saya sebelum jam sebelas malam. Nanti pakai aja telepon yang ada di meja.”
“Baik. Akan saya ingat-ingat.” Bayu menjawabnya dengan ramah. “Terima kasih banyak atas bantuannya, Bu.”
“Sama-sama. Saya kembali dulu.”
Sima tak bisa mengantar keluar si penjaga rusun. Dia membiarkan Bayu repot-repot menutup pintu, menguncinya dua kali, lalu menaruh dua tas besar mereka di dekat kaki kasur.