17.45 WIB - 12 Mei 1998
Sebelum berangkat pagi buta, Bayu berjanji kepada Sima akan segera kembali ke rumah. Namun, manusia hanya bisa berencana.
Hari mulai gelap. Sudah 30 menit berlalu Bayu berlindung di balik pohon rindang di bahu jalan. Baku tembak terdengar dari seluruh penjuru. Tidak ada dalam benaknya demonstrasi mahasiswa di kawasan DPR berakhir ricuh akibat tembakan senjata yang tidak diketahui asalnya.
Barisan mahasiswa yang berbaris rapi kini berlarian bagai randa tapak tertiup angin. Teriakan dan kepanikan menggema, Bayu bersiaga menyelamatkan siapa saja yang dalam bahaya.
“Cepat! Cepat menjauh! Berlindung di tempat aman!”
Tangannya berkali-kali melindungi wajah dari asap setiap membantu peserta demonstrasi keluar dari jalan utama. Bolak balik mencari mahasiswa yang tersesat lalu mengarahkan posko perlindungan yang aman. Kemudian kembali lagi ke posisinya memantau.
Kali ini dia mendengar desing peluru melewatinya. Peluru karet meleset melukai kaki Bayu hingga membuat tubuhnya ambruk seketika.
Erangan kesakitan lolos dari bibirnya. Dia tidak kuat bangkit berdiri. Dua tanganya terpaksa dikerahkan untuk menyeret tubuhnya untuk bersembunyi di balik pilar tiang listrik.
Helm dengan pelindung kaca yang rusak dijatuhkan ke tanah. Bayu memeriksa kaki kanannya yang telah berlumuran darah. Tak ada kain bersih selain kaos dalam seragam miliknya sendiri. Sayangnya ia tak bisa mengambil risiko menanggal rompi anti peluru.
Ranting berujung runcing tertangkap matanya. Bayu mengambilnya tanpa perlu kesusahan, merobek ujung celananya hingga ke titik luka bagian betis. Bayu tak bisa melihat dengan jelas sedalam apa lukanya.
Jarinya meraba bentuk luka. Untunglah tidak ada peluru bersarang. Hanya saja, dia menyadari jika peluru yang melukai betisnya bukanlah peluru karet, melainkan peluru sungguhan.