14.00 WIB — 14 Mei 1988
Dua hari telah berlalu. Bayu tak kunjung datang menampakkan batang hidungnya.
Sejak kemarin, Sima berusaha mencari kabar melalui macam-macam saluran radio yang ada. Demonstrasi mahasiswa akibat ekonomi negara anjlok selumbari lalu berakhir ricuh.
Firasat buruknya semakin mengakar sejak orang-orang di seluruh lantai rusun membicarakan penjarahan di kios-kios kecil. Begitu pula dengan kabar di saluran radio yang melaporkan berbagai kejadian.
“Suamiku … kamu di mana ….”
Sang buah hati sejak hari lalu tidak tenang dalam tidurnya. Meski telah ditimang-timang penuh kehangatan, anaknya tak henti-henti merengek. Sima kebingungan, tetapi kebingungannya mulai mengerucut menjadi kegelisahan tak berujung.
Yang dimilikinya sekarang adalah kalung pemberian Bayu. Tangannya menggenggam erat seolah harapannya masih tergantung dalam liontinnya.
“... cepat keluar dari sini!”
“ … bawa anak-anak pergi!”
Samar-samar Sima mendengar teriakan bersaut-sautan di penjuru lorong rusun. Derap kaki bergema bagai pasukan kuda berlarian. Bunyi benda jatuh dari suatu tempat pun sampai di telinganya. Kini tangisan anaknya mulai memekakkan telinga.
“Sima! Kamu di dalam? Sima!”
Ketukan pintu berkali-kali dan panggilan dari luar memanggilnya. Buru-buru Sima menaruh anaknya di kasur, kemudian berlari menuju pintu.
Namun bukan Bayu yang datang. Melainkan sosok penjahat yang telah lama menghilang dari hadapannya 3 bulan yang lalu.
“Koh Jian?”
Jian berada di depan kamarnya saat ini. Berpakaian hitam-hitam dengan wajah buruk rupa di pipi kanan yang tertutup bayang-bayang topinya. Entah bagaimana dia harus merespons kedatangan Jian, tetapi prioritasnya adalah di mana Bayu saat ini. Dia ingat suaminya yang akan bertemu Jian pada tanggal 13 Mei kemarin. Namun, jika Jian berada di sini ….
“Di mana suamiku? Bukankah kalian harusnya bertemu?”
“Kami tidak bertemu sama sekali,” ucap Jian menggeleng keras. “Sejak kemarin aku menunggunya datang ke toko, tetapi dia tidak kunjung datang.”
“Bayu menghilang?” Sima semakin kebingungan.