Ceezyco

Dyah Afifah Palupi
Chapter #2

Ranting Yang Patah

“Ruang Cempaka nomor dua, Ruang Cempaka nomor dua.” Ico terus melafalkan kalimat itu setelah bertanya kepada salah seorang resepsionis rumah sakit. Sebelum melenggang kesini, ketika ambulans yang membawa adik kelasnya tadi pergi, Ico telah terlebih dahulu melakukan sebuah investigasi untuk mengetahui nama adik kelasnya itu. Meskipun dengan mengeluarkan kocek yang lumayan banyak untuk menyogok teman sekelas gadis yang ia tolong tadi. Entah mengapa sulit sekali baginya untuk mengetahui informasi seputar gadis itu, teman-teman sekelasnya seakan enggan membicarakan hal-hal yang berhubungan dengannya. Ketika menemukan seseorang yang mau memberitahunya, ia melakukannya dengan pamrih. Tapi bagi Ico uang tadi tidak sebanding dengan rasa penasarannya. Di tengah perjalanannya tadi ia juga membeli beberapa buah-buahan sebagai buah tangan untuk ia berikan kepada adik kelasnya itu.

Dan di sinilah Ico sekarang, berdiri dengan gugup di depan pintu sebuah ruangan rumah sakit. Samar-samar ia mendengarkan suara seorang laki-laki dan perempuan yang tengah tertawa dengan lepas. Setelah menghela napas dengan berat, Ico memberanikan diri membuka pintu itu. Raganya tidak berani melangkah masuk ke dalam ruangan bernuansa biru muda itu, ia hanya berani mengintip. Tampak seorang laki-laki seusianya tengah bersenda gurau dengan adik kelasnya itu. Ico mematung ketika melihat mereka berpelukan, ia merasa hatinya hancur saat itu juga. Seakan menyadarkannya bahwa ia bukan siapa-siapa, ia hanya orang asing yang kebetulan menolongnya tadi. Ico memundurkan langkahnya sedikit demi sedikit, melangkah dengan lemah meninggalkan tempat itu. Buah-buahan yang ia bawa tadi ditinggalkannya di kursi panjang depan ruangan tadi. Wajahnya tampak lesu dan murung. Tanpa berniat mencari tahu kebenarannya ia memilih mundur sebelum berjuang. Tampak gurat kesedihan dan kekecewaan yang terukir di wajahnya. Ada ranting yang patah sebelum angin menerpa, ada hati yang patah sebelum jatuh cinta.

Sepi dan sunyi adalah teman Ico yang menemani hari-harinya ketika berada di rumah. Kedua orang tuanya yang jarang pulang ke rumah membuat Ico seakan tidak pernah merasakan wujud nyata sesosok ayah dan ibu yang sebenarnya. Bagi Ico, keluarga yang sesungguhnya adalah orang-orang yang diperintahkan orang tuanya untuk membantu mengurusi dirinya dan rumahnya. Ico tidak mau menyebut mereka sebagai “pembantu” karena menurutnya kata itu tidak pantas ditujukan untuk orang-orang yang berjasa seperti mereka. 

“Eh Mas Ico udah pulang, ngapa kok mukanya kaya sedih gitu? Bibi siapin makan sama minum ya?” tawar seorang perempuan paruh baya dengan logat Jawa itu.

“Makasih ya Bi, Ico ganti baju dulu. Nanti makanannya taruh aja di meja makan,” ujar Ico sembari berdiri. Andai saja kalimat itu terucap dari bibir ibunya.

Nuansa abu-abu menyambut Ico ketika memasuki kamarnya. Ia menjatuhkan dirinya di kasur dengan seragam yang masih lengkap. Pikirannya membawanya melayang, berharap wanita itu datang dan mau mendengar keluh kesahnya. Tak berselang lama keinginannya seakan didengarkan olehnya, seorang wanita dengan gaun putih duduk di tepi tempat tidurnya. Mengelus kepalanya dengan lembut dan mencubit hidungnya. 

 “Ada cerita apa hari ini Ico sayang?” tanyanya sambil tersenyum manis. 

Ico mengubah posisinya menjadi duduk. “Akhirnya kamu datang. Terima kasih karena kamu selalu ada ketika aku membutuhkan teman untuk bercerita,” ujarnya sembari memeluk wanita itu. Ico selalu menggunakan bahasa yang sopan ketika berbicara dengan perempuan, itu sudah menjadi kebiasaannya sedari kecil dan hal itu ia lakukan sebagai bentuk penghormatan kepada mereka. 

Lihat selengkapnya