Ceezyco

Dyah Afifah Palupi
Chapter #9

Delusi?

Setelah mengantarkan Binar, Ico terlebih dahulu membeli pet bag di sebuah pet shop yang terletak tak jauh dari rumah Binar. Di sepanjang perjalanan Ico masih bertanya-tanya bagaimana bisa seekor kucing mengetahui segalanya seperti seorang peramal. Segalanya masih terasa tidak nyata bagi Ico, kejadian tadi sungguh tidak masuk akal dan sulit untuk dipercaya. Sepanjang perjalanannya kali ini banyak pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya. Namun sayangnya belum ada jawaban atas seluruh pertanyaan itu. Tidak terdengar lagi suara Izy dari belakang, mungkin ia tertidur. 

Sesampainya di rumah, Ico memarkirkan motornya di bagasi. Ia melangkah menuju kamarnya untuk beristirahat, biar saja malam ini Izy tidur bersamanya. Ia mengeluarkan kucing itu dari pet bag lalu memindahkannya ke karpet dengan hati-hati. Ico baru ingat Izy belum diberi makan malam hari ini, jadi ia mengambil pakan kucing yang berada di teras belakang. Ia berniat membangunkan kucing peliharaannya itu untuk makan terlebih dahulu, namun baru saja ingin menyentuh gagang pintu kamarnya perhatiannya teralihkan karena mendengar suara dari ruangan yang berada sebelahnya. Sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita dari sana. Ruangan itu adalah tempat untuk menaruh koleksi lampion ibunya, memang hobi ibunya itu unik dan berbeda. Ia tahu suara itu berasal dari ibunya yang tengah berbincang di telepon.

“Ya, sudah saya putuskan,” terjadi jeda cukup lama setelah itu. Mungkin ibunya tengah mendengar jawaban dari orang yang diteleponnya, atau mungkin ia tengah berpikir sejenak, “meskipun bukan anak kandung saya, warisan tetap akan jatuh kepadanya. Saya akan beritahu dia besok.”

Ico memundurkan langkahnya dengan lemah. Sedih, kecewa, dan marah semua beradu menjadi satu. Bagaimana bisa kedua orang tuanya menyembunyikan rahasia sebesar ini sendirian. Ia melangkah menuju biliknya dan menguncinya rapat-rapat. Izy masih tertidur pulas disana. Ia menatap kucingnya lekat-lekat, memikirkan betapa mudahnya menjalani kehidupan sebagai seekor kucing. Izy membuka kedua bola matanya dan terbangun, ia menatap balik Ico lalu berjalan mendekatinya. Seakan ingin menenangkan hati pemiliknya, ia mengelus-eluskan kepalanya di kaki Ico. Ico kemudian mengangkatnya dan memeluknya dengan erat. 

Esok tiba dan hari yang baru pun dimulai. Hari ini bertepatan dengan ulang tahun Ico, hari dimana seharusnya ucapan selamat ulang tahun menjadi sumber kebahagiaan tersendiri. Namun, yang terjadi adalah tak ada seorangpun di rumahnya yang mengingat hari bahagia ini. Malah hari ini Ico akan mendengarkan secara langsung pengakuan dari ibunya. Mungkin ini akan terasa cukup sakit, tapi Ico sadar semakin lama ia mengetahui hal ini, maka semakin dalam pula rasa sakit yang akan ditanggungnya. 

Ibunya mengajak Ico berbincang di taman depan, mereka saling bungkam sejak sepuluh menit yang lalu. Bibi datang sambil membawakan dua cangkir teh dengan asap yang masih mengepul di udara, ia tersenyum sejenak pada Ico lalu berjalan meninggalkan mereka.

“Ico, ada yang ibu mau bicarakan sama kamu,” ujar ibunya membuka percakapan.

Ico tidak menjawab, ia hanya menatap kosong ke depan. Terdengar helaan napas dari ibunya, ia terdiam lama sekali setelahnya.

“Apa yang mau ibu bicarakan?” tanya Ico.

“Sebelumnya ibu minta maaf karena sudah lama menyembunyikan rahasia ini. Ibu dan ayah tidak bermaksud menyakitimu, hanya saja kami menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukannya padamu,” jelas ibunya.

“Jadi?” tanya Ico tidak sabar.

“Sebenarnya, kamu bukan anak kandung kami.”

Lihat selengkapnya