Ico membelalakkan matanya tak percaya. Buku PR matematikanya itu kini tengah dipegang oleh Pak Bimo. Ia yakin benar sudah mencarinya dengan teliti tadi. Bahkan Erkan juga ikut membantunya mencari buku itu, tapi mengapa tiba-tiba buku itu bisa tergeletak di sana?
“Jawaban kamu semuanya benar. Kamu menyontek milik Erkan ya?” tanya Pak Bimo curiga.
“Nggak Pak, saya ngerjain sendiri,” jawab Ico.
“Saya tidak percaya,” eyel guru itu.
“Benar Pak, Ico tidak menyontek milik saya,” bela Erkan.
Pak Bimo mengerutkan dahinya.
“Saya baru percaya kalau kamu bisa mengerjakan soal yang akan saya tuliskan di papan tulis. Saya akan memberi kamu waktu satu menit untuk mengerjakan soal itu. Jika kamu berhasil, maka saya tidak akan melaporkan kamu ke kepala sekolah,” tuturnya.
“Baik Pak, saya akan mencoba,” sanggup Ico.
Ico maju ke depan setelah guru itu selesai menuliskan sebuah soal di papan tulis. Ia kemudian mengambil salah satu spidol yang tercecer di atas meja guru, lalu membaca soal itu dengan cepat namun cermat. Ia berusaha membangun kepercayaan dirinya dan yakin terhadap kemampuan yang dimilikinya. Erkan melirik soal itu, dan tercengang melihatnya. Ia rasa Pak Bimo sengaja memberikan soal dengan level yang sulit supaya Ico tidak bisa mengerjakannya. Bahkan Erkan sendiri tidak mampu menyelesaikan soal yang berada di papan tulis itu. Ia berharap Ico mampu mengerjakan soal itu dengan benar. Ico segera menuliskan penyelesaian soal itu dengan cepat karena waktu yang dimilikinya semakin menipis. Meskipun sulit, ia akan tetap mencoba dan berusaha. Hingga akhirnya, ia pun mampu menyelesaikan soal itu. Bahkan tersisa waktu beberapa detik dari waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Erkan tercengang melihat jawaban yang Ico tuliskan, sepertinya teman-teman Ico dan Pak Bimo juga merasa begitu. Teman-teman Ico tampak kagum dengan jawaban Ico yang sepertinya benar itu, kini mereka tinggal menunggu jawaban dari Pak Bimo. Semua mata menatap Pak Bimo dengan penuh rasa penasaran.
“Jawaban kamu benar Ico,” ucap guru itu. Suara gemuruh tepuk tangan memenuhi indra pendengaran Ico. Ia tersenyum lega lalu berjalan menuju ke tempat duduknya. Ia sendiri sebenarnya masih tidak menyangka bisa mengerjakan soal itu dengan benar.
“Selamat atas keberhasilannya Bapak Ico. Mohon diterima piala penghargaan ini,” ujar Erkan sembari menyerahkan tumbler minumnya dan menyalami Ico.
“Apaan sih lo, lebay tau nggak.”
“Sakit hati adek abang gituin,” ucap Erkan sambil memasang raut muka memelas.
“Yaudah makasih,” sahut Ico sambil merebut tumbler itu dengan cepat.
“Eh, itu tumbler-nya dedek kenapa diambil?”
“Lah, tadi lo sendiri yang ngasih ke gue.”
“Ya kan cuman buat formalitas doang.”
“Yaudah nih,” sahut Ico malas sembari menyodorkan tumbler itu.
Bel istirahat berdering dengan nyaring, menandakan tibanya waktu untuk rehat sejenak dari pembelajaran di sekolah. Ico dan Erkan hendak pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka yang lapar. Suasana di kantin hari itu ramai seperti biasanya. Mulai dari kelas sepuluh hingga dua belas memadati setiap celah kosong di kantin. Ico dan Erkan duduk di sebuah meja dengan empat kursi kecil yang mengelilinginya. Mereka baru saja selesai memesan makanan, Ico memesan bakso dan lemon tea, sedangkan Erkan memesan mi instan dan minuman favoritnya,Teajus. Mereka berbincang-bincang selagi menunggu pesanan mereka datang.
“Co, kok lo bisa sih tiba-tiba jadi pinter cuman dalam waktu semalem?” tanya Erkan heran.
“Gue udah pinter dari dulu kali,”