“Ico, awas!” pekik Izy.
Ico menengok, ia terlambat menyadari bahwa ada sebuah bola yang melambung ke arahnya. Ia ingin mengelak, namun sudah terlambat. Bola itu tepat mengenai kepala Ico dan membenturnya dengan keras. Pandangannya menjadi kabur dan gelap, seketika itu pula ia kehilangan kesadarannya. Semua teman-temannya menjadi panik dan segera berlari mendekati Ico untuk menolongnya, begitu pula dengan Izy ia berlari sekuat tenaganya untuk melihat keadaan Ico. Bagaimana bisa ia seceroboh ini? Tujuannya datang ke sini adalah untuk melindungi Ico bukan malah menyakitinya.
“Minggir, minggir,” ujar Izy pada beberapa siswa yang mengerumuni Ico.
“Ico, bangun!” Izy tampak panik sambil menggoyang-goyangkan bahu Ico. Pelipis laki-laki terluka dan meneteskan darah segar.
Beberapa siswa laki-laki langsung dengan sigap membopong Ico dan membawanya menuju UKS. Di sana terdapat beberapa siswa siswi yang menjaga UKS hari itu. Mereka segera membersihkan luka di pelipis Ico kemudian menutup lukanya dengan kain kasa dan plester. Setelah Ico sadar, ia diberi minum teh hangat.
Izy memandang Ico di ambang pintu UKS, tidak berani mendekatinya. Sedari tadi ia hanya memainkan kuku-kukunya sambil terus berdecak karena khawatir. Selesai mengobati luka Ico, anak-anak PMR pun segera meninggalkan tempat itu.
“Makasih ya,” ujar Izy kepada mereka, mereka mengangguk sambil tersenyum.
“Izy,” panggil Ico dari ranjang UKS.
“Iya?”
“Sini, masak mau berdiri terus di situ.”
Izy melangkah dengan ragu menuju ke arah Ico.
“Ico, Izy minta maaf ya,” ujar gadis itu tak berani menatapnya.
“Iya, nggak papa. Aku kan laki-laki kuat,” ujarnya sambil terkekeh.
“Pasti sakit, masih pusing ya?”
“Dikit sih. Tapi kalo liat kamu sakitnya jadi agak mendingan.”
“Ih, apaan sih.”
“Beneran deh. Apalagi kalo kepala aku di elus-elus sama kamu, beuh pasti sakit aku langsung ilang.”
“Ico genit!” pekik Izy.
“Gemes banget sih kamu.”
“Emang.”
“Aduh, kepala aku sakit banget nih,” lirih Ico sambil memegangi kepalanya.
“Aduh, gimana dong. Izy panggilin anak-anak PMR lagi ya,” ujar Izy hendak beranjak.
“Eh nggak perlu,” cegah Ico.
“Loh kenapa?”
“Kan aku udah bilang, sakitnya bakal ilang kalo kamu elus-elus.”
“Yaudah sini.”
Ico tersenyum senang kemudian mengambil tangan mungil Izy dan menaruhnya di atas perban lukanya. Izy mengelus luka itu pelan sambil sesekali meniupinya.
“Di tiup aja, nggak mau di cium nih?” goda Ico.
“Ihhhh, Ico nakal! Izy aduin sama Binar loh,” ancam Izy.
“Bercanda.”
“Ico bercandanya nggak lucu. Ico tau nggak sih, sebenernya Binar itu cemburu kalo Ico deket-deket ama Izy,” ujar Izy keceplosan.
“Eh, emang iya?” tanya Ico sambil mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk.
“Eh, Yaampun Izy keceplosan!” seru Izy sambil menepuk-nepuk mulutnya.
“Hahaha, lucu banget sih kamu.”
“Ico yang Izy omongin tadi nggak bener kok. Izy cuman asal bicara aja,” eles Izy.
“Kamu tuh nggak pinter boong. Udah cerita aja.”