Ico duduk berhadap-hadapan dengan Pak Adikara. Binar datang sambil membawakan teh hangat untuk mereka berdua.
“Binar, sini duduk bareng,” ajak ayahnya.
Binar mengangguk patuh lalu duduk di samping ayahnya.
“Ayah senang sekali hari ini, akhirnya ayah bisa berkumpul dengan kedua anak ayah yang sudah dewasa. Rasanya ini seperti mimpi, sulit untuk dipercaya bahwa rencana tuhan begitu manis untuk kita. Ayah tahu, pasti sulit bagi kalian untuk menerima semua kenyataan ini. Ketika Binar menyebut nama Ico, sekilas terlintas di pikiran ayah tentang anak laki-laki ayah yang begitu ayah rindukan. Ditambah lagi ketika mendengar suara dari Ico, rasanya kerinduan ayah pada anak laki-laki ayah sedikit berkurang. Tapi ayah tak pernah menyangka, bahwa laki-laki yang bernama Ico itu memanglah anak kandung ayah. Ayah ingin kalian tetap mempertahankan rasa sayang dan cinta kalian satu sama lain, hanya kali ini bedanya rasa itu adalah rasa yang ditujukan kepada saudara kandung kalian sendiri. Kalian sudah cukup dewasa untuk memahami hal ini, jadi ayah berharap kalian bisa melakukan apa yang ayah katakan tadi.”
“Iya Yah,” ujar keduanya kompak.
“Jadi ayah akan ceritakan tentang semuanya. Bagaimana semua ini bisa terjadi, karena kalian berhak untuk tau.
Jadi dulu kami begitu tidak sabar menanti kelahiran anak pertama kami. Begitu dia lahir, kami memberi nama dia Bagas Adikara. Ketika kamu berumur 6 bulan, kami mengajakmu pergi ke taman. Waktu itu ibu kalian sedang dalam keadaan hamil Binar. Andai saja kami tidak lengang, hal itu tidak akan terjadi.
Seorang wanita paruh baya yang mengenakan seragam penyapu jalan menghampiri kami yang sedang duduk di kursi taman. Ia mengatakan bahwa ketika melihat Ico, ia teringat pada anaknya yang telah tiada. Dia bercerita bahwa suaminya juga ikut meninggalkannya demi perempuan yang lebih muda dan kaya. Sejak saat itu ia sakit-sakitan dan mencoba mempertahankan hidupnya dengan menjadi penyapu jalanan. Kami begitu merasa iba padanya, lalu kami menanyakan hal apa yang bisa kami lakukan untuknya. Ia menjawab bahwa ia hanya ingin menggendong Ico sebentar untuk mengobati rasa rindunya. Karena merasa kasihan, kami pun mengiyakan.
Kami mengawasi wanita yang sedang berjalan sambil menimang-nimang Ico itu, namun tiba-tiba wanita itu berlari dengan cepat membawa Ico menjauh. Kami panik, sontak kami pun berniat untuk mengejarnya namun ibu kalian terpeleset lalu terjatuh. Begitu banyak darah yang ayah lihat saat itu. Ayah mencoba meninta tolong dengan berteriak, namun suasana di taman hari itu sangat sepi tidak ada seorang pun yang mendengar teriakan ayah. Pikiran ayah begitu kacau dan terbagi saat itu. Jika ayah memilih untuk mengejar wanita itu, maka ayah akan kehilangan dua nyawa namun jika ayah menyelamatkan ibu kalian maka ayah akan kehilangan seorang bayi yang tidak berdosa. Ayah pun dengan berat hati memilih untuk menyelamatkan ibu kalian, ayah segera mengantarkannya ke rumah sakit dan hampir kehilangan Binar. Namun tuhan masih berbaik hati kepada kami, ia tak ingin kami kehilangan dua bayi sekaligus dalam satu hari.
Setelah ibumu dipindahkan ke ruang rawat inap, ayah segera menuju ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Ayah mencoba mengingat-ingat ciri-ciri wanita itu dan memberitahukannya ke polisi. Setiap hari kami selalu memikirkan kamu Ico kami selalu berdoa pada tuhan untuk segera menemukan kami dengan kamu. Hari-hari kami begitu menyedihkan tanpa kamu, tahun demi tahun berlalu. Ketika Binar masih berusia balita, ia harus kehilangan ibunya karena tertabrak sebuah mobil pick up. Di sanalah ayah bisa bertemu dengan kamu lagi Ico. Melihat kamu tumbuh dengan baik dan mendapatkan kasih sayang yang tulus dari kedua orang tua kamu membuat ayah dapat bernapas lega. Ayah memutuskan untuk merelakan kamu untuk dirawat kedua orang tua angkatmu. Entah mengapa ayah memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa suatu hari nanti kita akan bertemu lagi.
Setelah kejadian itu ayah bukan saja kehilangan ibu kalian, perusahaan ayah meredup, perlahan semua aset yang ayah miliki hilang. Ayah menjual semua yang ayah miliki, termasuk handphone dan rumah ayah. Oleh sebab itu kedua orang tua angkatmu tidak dapat lagi menemukan ayah. Ayah dan Binar pindah ke sebuah rumah sederhana untuk kami tinggali. Pernah memiliki jabatan yang besar di sebuah perusahaan ternama, ternyata tidak menjadi jaminan karier ayah akan selalu mulus. Berkali-kali ayah mencoba melamar pekerjaan, namun ayah selalu ditolak. Hingga akhirnya ayah mengidap penyakit asma kronis yang menyebabkan tubuh ayah semakin lemah. Meskipun penyakit ini akan kumat jika ayah kelelahan, namun ayah terus bekerja demi kehidupan ayah dan Binar. Semua rasa sakit yang ayah rasakan bisa ayah tahan untuk kebahagiaan Binar kelak.”
“Ayah, apakah ayah punya foto ibu?” tanya Ico.
“Iya Nak, ayah punya. Binar tolong ambilkan foto ibumu di kamar ayah ya,” suruh Pak Adikara.
Binar mengangguk lalu berjalan menuju ke kamar ayahnya. Tak lama setelahnya, ia kembali sambil membawa sebuah pigura kecil di tangannya. Ia menyerahkan pigura itu ke Ico lalu diterima oleh Ico. Ia membelalakkan matanya tak percaya melihat wanita bergaun putih dengan liontin kalung sedang tersenyum dalam foto itu.
“I-ini ibu?” tanya Ico.
“Iya Nak, itu ibu kamu,” sahut ayahnya.
“Tapi, wanita ini adalah wanita yang sering datang dalam mimpi Ico,” ujar Ico.
Pak Adikara dan Binar tampak terkejut namun tak dapat merespons apa-apa.
Hari hampir larut, Ico memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
“Sering-sering main ke sini ya Nak. Ini rumah kamu juga,” ujar Pal Adikara.
“Iya Yah, pasti Ico akan sering ke sini. Kalau begitu Ico pamit dulu ya Yah, Binar,” pamit Ico sambil mencium punggung tangan ayahnya. Ia segera menghidupkan mesin motornya dan melenggang pergi dari sana. Hari ini takdir telah memberikannya banyak sekali kejutan. Meskipun tak terduga, namun Ico bersyukur bisa mengetahui ini semua.
Ico memarkirkan motornya di bagasi rumahnya lalu masuk ke dalam. Di sana ayah dan ibunya tengah duduk di sebuah sofa sambil menonton TV.
“Baru pulang Nak?” tanya ibunya.
“Iya Bu,” jawab Ico sambil menyalami ayah dan ibunya.
“Kalau begitu kamu ganti baju dulu lalu makan,” ujar ayahnya.
Ico mengiyakan lalu menuju ke kamarnya. Setelah berganti baju ia makan di meja makan bersama dengan kedua orang tuanya.
“Ayah, ibu ada yang ingin Ico bicarakan,” ujar Ico di tengah makan mereka.
“Apa yang ingin kamu bicarakan Nak?” tanya ibu Ico.
“Ico sudah bertemu dengan ayah kandung Ico.”
Ayah dan ibu Ico langsung menghentikan aktivitas makan mereka, mereka tampak terkejut dan menatap Ico tidak percaya.
“Sungguh?” tanya ibu Ico.
“Iya Yah, Bu. Ayah kandung Ico ternyata adalah ayah Binar.”
Mereka saling bertatapan dengan raut muka terkejut.
“Binar pacar kamu?” tanya ayah Ico.
“Iya Yah.”
“Jadi kamu mengakhiri hubunganmu dengannya?” tanya ibu Ico.
“Tidak Bu, kami tidak mengakhiri hubungan kami. Kami hanya mengubahnya dari hubungan pacaran menjadi hubungan saudara. Bagaimanapun Ico masih berusaha menerima kenyataan ini dan akan berusaha menjadi seorang kakak yang baik,” ujar Ico.
“Ayah dan ibu bangga dengan pemikiran kamu yang dewasa. Sekarang kita selesaikan dulu makan malam kita, nanti kita lanjutkan berbincang di ruang keluarga,” ujar ayah Ico.
Ico tengah duduk di antara ayah dan ibunya di sebuah sofa berwarna kelabu tua.
“Jadi bagaimana kalian bisa bertemu?” tanya Pak Aradian memulai percakapan.
“Jadi, tadi Ico sedang berada di rumah Binar setelah mengantarkannya pulang. Ketika Ico sedang menunggu Binar mengambil makanan di teras rumahnya, seorang laki-laki menghentikan motornya di pekarangan rumah Binar. Ketika laki-laki itu membuka helmnya Ico terkejut karena laki-laki itu berwajah seperti ayah kandung Ico. Ternyata beliau memanglah ayah kandung Ico. Setelah pertemuan itu, Ico, Binar, dan Pak Adikara berbincang-bincang di ruang tamu cukup lama, makanya tadi Ico pulang agak larut,” terang Ico.
“Kami turut bahagia mengetahui orang tua kandung kamu masih hidup Ico,” ujar Ibu Aradian.
“Tapi ... apakah setelah mengetahui siapa sebenarnya orang tua kandungmu kamu akan meninggalkan kami dan tinggal bersamanya?” tanya Bapak Aradian dengan raut wajah murung.
Ico menatap ayahnya lalu tersenyum, “Tentu saja tidak Yah, Ico akan tetap di sini dan sering-sering mengunjungi ayah kandung Ico. Bagi Ico kalian itu sama-sama sangat berharga dalam hidup Ico. Kalian sama-sama Ico letakkan di hati Ico yang paling dalam,” ujar Ico.
“Kami bangga memiliki putra seperti kamu Ico,” ujar Ibu Aradian.
“Ico juga bangga memiliki orang tua seperti kalian,” ujar Ico sambil merangkul ayah dan ibunya.
Malam semakin larut, Ico beranjak menuju kamarnya untuk istirahat. Ketika ia membuka kamarnya, ia sedikit terkejut melihat Izy dalam bentuk kucing tengah terbaring di atas ranjangnya. Mata kucing itu tertutup dan ia mengeluarkan bunyi dengkuran halus. Ico menghampiri kucing itu dan mengelus kepalanya perlahan. Izy membuka matanya pelan dan melihat ada Ico di sebelahnya.
“Tumben tidur di sini,” ujar Ico.
“Iya Izy dari tadi nunggu Ico lamaaa banget, jadinya Izy ketiduran,” ujar kucing itu.
“Yaudah mumpung kamu di sini, aku mau cerita sama kamu.”
“Cerita apa?” tanya Izy sambil mengolet.
“Banyak, mungkin kamu bakal sampe ketiduran denger cerita aku.”
“Nggak papa Izy bakal dengerin cerita Ico sampe habis kok.”
Ico mulai bercerita, semuanya. Tentang betapa beberapa hari belakangan ini banyak menyingkap rahasia yang tidak ia duga. Tentang bagaimana lucunya takdir menemukannya dengan ayah dan adik kandungnya. Izy terus mendengarkan Ico bercerita, bahkan ia akan terus mendengarkan walaupun Ico bercerita hingga pagi tiba.
“Ico, sebenernya Izy udah tahu,” ujar kucing itu setelah Ico menyelesaikan ceritanya.