Pagi-pagi sebelum berangkat kuliah, Kika yang baru masuk semester satu Fakultas Seni Rupa jurusan fashion design, buru-buru membuka laptop. Ia hendak mengecek apa yang dikirimkan mamanya semalam ke Igo. Tampaknya ia khawatir mamanya berkata yang tak diinginkan terhadap Igo. Namun ia bernapas lega ketika tak ditemukan chat lagi selain yang semalam ia saksikan. Ia menutup kembali layarnya, lalu bersiap pergi.
Akan tetapi sejurus kemudian, ia tertegun sambil mengerutkan dahinya yang berponi. Ia seakan berpikir, lalu bergumam, "tunggu ... tunggu! Masa iya sih chatting segitu lamanya cuma ngetik segitu doang? Kok aneh, ya?"
Kika menggeleng-gelengkan kepala sambil berdesis. Lalu ia berlari menyusul Mama Ocha yang sudah menunggunya di mobil.
"Ma, semalem ngomongin apaan sama Igo?" tanya Kika penasaran, sambil memasang sabuk pengaman. "Awas aja kalau Mama macem-macem!"
"Enggak kok, mama cuma pengen tau aja siapa anak itu. Mama takut kamu dipermainkan orang yang nggak jelas. Kebanyakan mereka cuma mau manfaatin aja. Kamu harus hati-hati, jangan gampang percaya orang yang belum dikenal."
"Tapi perasaan mama lama banget saling bales chat sampai aku ketiduran."
"Enggak! Cuma itu aja. Mama hanya lihat-lihat profil kontak teman-teman chattingmu."
Padahal dalam hatinya, Mama Ocha hampir tak bisa menyembuyikan kebohongannya. Justru semalam ia semakin penasaran ingin tahu banyak tentang lelaki yang mendekati putrinya itu.
"Nanti pulang dari kampus, kamu langsung ke butik, ya! Bantu Mama pasang payet kebayanya Tante Yasmin. Besok siang mau diambil buat dipake ke acara lamaran keponakannya!" pesan Mama Ocha tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang mulai macet.
"Ih Mama! Aku ada janji mau nonton bareng Shelin dan Keysha!" tukas Kika merengut kesal.
"Nggak bisa! Mama nggak bakalan kasih kamu uang!" ancam Mama, yang tak bisa lagi dibantah oleh anaknya. Kika pun tak menjawab, hanya mendecakkan lidahnya tanda kesal.
Sesampai di kampus, Kika turun dari mobil mamanya yang langsung memutar menuju butiknya. Langkahnya gontai menuju kantin untuk membeli minuman.
"Kikhaa! Maalikha!" seru seseorang membuat Kika menghentikan langkahnya. Ia menunggu Azmar yang berlari menyusulnya. Cowok berdarah Arab itu berhasil menjejeri langkah Kika dengan terengah-engah.
"Apaan sih, lo? Pagi-pagi udah ngos-ngosan gitu?" tanya Kika seraya menyikut lengan Azmar.
"Ana cuma mau kasih kabar, tugas gambar anti kemarin ketinggalan di kantin," ucapnya sambil mengeluarkan selembar kertas bergambar rancangan busana.
"Nah, ini dia yang gue cariin dari kemarin!" teriak Kika spontan dengan suara keras. Sontak Azmar pun menjauhkan telinganya sambil meringis.
"Astaghfirullahaladzim! Biasa aja kali suaranya. Ana pusing kalau denger suara rombeng anti, Yaa Maalikha!" teriaknya tak kalah keras dengan gaya dan panggilan khasnya kepada Kika.
"Lo tuh yang bikin pusing, Onta Kribo!" jawab Kika tertawa sambil mengacak-ngacak rambut kriting Azmar.
Setelah itu, mereka dihampiri dua gadis cantik. Bertambah riuhlah pagi itu diwarnai kicauan Keysha dan Shelin, sahabat Kika.
"Ka! Gimana gebetan lo di Meet-me? Masih lanjut, kan?tanya Shelin.
"Lanjut sih. Cuma ... chat gue semalam direbut Mama!"
"Maksud lo?" Keysha tercengang.
"Gue lagi asyik chat, eh mama gue nimbrung. Keponya kumat!"
"Terus ... terus?" Shelin makin penasaran.
"Tamat! Nggak ada terusannya! Payah, Mama sekarang mantau mulu. Nggak asyik! Masa gue dikepoin, semua akun di-stalking terus. Nggak tau abis keracunan apaan tu mama gue."
"Yaah ... Nggak seru dong, Ka! Padahal gebetan lo lumayan keren lho!" ujar Shelin menyesalkan.
Kika tampak gelisah. Di ruang kuliah, di kantin, Kika berulang kali membuka dan menutup laptopnya. Ia mengecek akun Igo barangkali sudah aktif. Namun sampai saat itu pun tak terlihat tanda-tanda sedang online.
"Apakah Igo tersinggung atau marah dengan ucapan Mama di ruang chat?" batinnya. Ia cemas seandainya perkiraannya itu benar.
Sementara itu di kampus Igo, ia juga merasakan kegelisahan yang sama. Semalam ia ketiduran menunggu papanya mengambil alih ruang chat. Ia takut papanya melakukan hal yang sama terhadap lawan kencannya di beberapa chatroom, seperti yang sudah-sudah. Ia tahu sekali kebiasaan papanya merayu gadis-gadis muda. Untuk urusan itu, ia memang kalah jauh. Namun kali ini Igo merasakan hal berbeda. Ia bukan cemas andai Kika sampai terbujuk rayuan maut papanya, tetapi yang ditakutinya sdalah Kika tersinggung dan marah. Karena ia tahu Malika tak seperti gadis lainnya. Kika berbeda sekali, makanya ia begitu tertarik dengan gadis itu.
Sebenarnya Igo ingin sekali menanyakannya, tetapi tak ada keberanian. Ia takut Kika justru malah marah kemudian tak mau lagi dihubunginya. Ia akan menunggu hingga Kika duluan yang mengontaknya.
Wajah Kika sumringah begitu melihat warna hijau menyala di profil yang sedang dinantinya malam itu. Ia langsung menggerakkan jemari lentiknya di atas papan ketik laptopnya.
KIKA: Malem, Igo! Apa kabar?
Semenit kemudian, muncul pesan balasan dari Igo.
IGO: Baik. Lo, Ka? Eh, sorry ... malem juga ya. Hehe.
KIKA: Baik juga.
Beberapa saat layar tak berubah. Masing-masing merasa kebingungan harus menulis apa untuk mulai menanyakan perihal semalam. Tak lama kemudian, di layar itu Kika melihat Igo sedang menuliskan pesan baru. Ia menantinya dengan berdebar dan penasaran.
IGO: Semalam lo nggak marah, kan?